Pembaca yang budiman! Lembaran kita kali ini akan membicarakan tentang sebab sebab mengapa Allah subhanahu wata’ala menghancurkan penduduk sebuah negeri dan bahkan sebuah umat. Mengapa mereka dihancurkan? Apakah Allah subhanahu wata’ala berbuat zhalim kepada mereka? Tidak sama sekali, bahkan itulah balasan kezhaliman yang mereka lakukan.
Allah subhanahu wata’ala befirman, artinya,
“Dan kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Huud:101)
Berikut ini di antara sebab-sebab mengapa sebuah negeri atau umat di hancurkan. Jika di suatu tempat telah tampak sebab-sebab ini maka artinya mereka sedang menunggu kebinasaan dan kehancuran dari Allah subhanahu wata’ala
1. Kezhaliman
Kezhaliman merupakan sebab paling dominan mengapa Allah subhanahu wata’ala menghancurkan sebuah negeri. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan begitulah azab Rabbmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (QS Huud:102)
Amat banyak kezhaliman yang terjadi di suatu negeri atau kampung, kezhaliman kepada Allah subhanahu wata’ala, kezhaliman terhadap sesama manusia antara satu dengan yang lainnya. Berapa banyak kezhaliman yang terjadi di suatu negara, baik terhadap orang-orang kecil, para pegawai, buruh dan warga negara yang mereka semua tidak mampu untuk mendapatkan sebagian hak-haknya, apa lagi keseluruhan haknya. Dan di antara kezaliman yang sangat besar adalah kezhaliman terhadap orang-orang mukmin, muwahidin, kepada para da’i yang menyeru ke jalan Allah, kepada para wali Allah. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (QS. al-Kahfi: 59)
2. Kemegahan Hidup Dan Nikmat Yang Melimpah
Di masa ini kita melihat banyak orang berpakaian mewah, tinggal di istana-istana dan gedung megah, naik kendaraan mewah, dengan perabotan rumah yang serba lux yang hampir-hampir tidak bisa dinalar. Padahal berapa banyak kemewahan yang menyeret manusia ke dalam dosa, maksiat dan kefasikan. Sampai-sampai orang menjadi lupa kepada agama Allah subhanahu wata’ala dan perintah-Nya, hanya lantaran tinggal di rumah mewah, naik kendaraan mewah. Tidak senang dan tidak mau menerima nasihat jika ada orang lain yang beramar ma’ruf nahi munkar.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (untuk mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadap nya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al Israa’: 17)
3. Kufur Nikmat
Sebagian orang ada yang jika diberikan nikmat oleh Allah subhanahu wata’ala maka dia tidak mau bersyukur, Allah subhanahu wata’ala memberi nikmat namun dia melupakan hak-hak Allah subhanahu wata’ala yang ada dalam nikmat tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl:112)
Kelaparan dan ketakutan adalah dua hal yang selalu berdampingan, manusia jika kufur nikmat lalu Allah subhanahu wata’ala menimpakan kepada mereka kelaparan dan mereka tidak mau kembali kepada Allah subhanahu wata’ala maka Dia akan menimpakan ketakutan. Demikian juga jika mereka sudah ditimpa ketakutan, hilangnya rasa aman dan ketenangan namun tetap tidak mau kembali kepada Allah subhanahu wata’ala maka Dia timpakan kepada mereka kelaparan.
4. Banyak Orang Munafik
Salah satu sebab hancurnya umat adalah karena banyaknya orang munafik yang memegang urusan kaum muslimin. Orang munafik adalah orang yang menampak kan Islam namun memendam kekufuran, memerangi wali-wali Allah, para da’i di jalan Allah, para ulama dan orang-orang yang istiqamah menjalankan agama. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab, “Sesungguh nya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (QS. Al-Baqarah:11)
Mereka mengaku sedang melakukan perbaikan, sebagian dari mereka berkata sebagaimana yang dikatakan Fir’aun kepada pengikutnya, dalam firman Allah, artinya, “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir ia akan menukar agama-agamamu atau menimbul kan kerusakan di muka bumi”. (QS Ghafir:26)
5. Berwala’ (Setia) Kepada Kaum Kufar
Memberikan wala’ (loyalitas) kepada orang kafir dan tidak bersikap setia kepada orang mukmin masih banyak terjadi di masyarakat. Mereka setia kepada musuh-musuh Allah dan bangga dapat membantu serta menolong mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 173)
Maksudnya jika orang mukmin tidak berwala’ dengan orang mukmin, tidak berwala dengan penyeru penyeru kebaikan, tidak berwala’ dengan ahli ilmu dan ahli takwa, maka itu akan menyebabkan fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.
6. Meninggalkan Amar Ma’ruf Dan Nahi Munkar
Sesungguhnya di antara sebab hancur nya umat adalah karena meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya,
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (al-Anfal 25)
Hal ini sebagaimana digambarkan dalam hadits tentang safinah (perahu), yakni jika ada seseorang yang ingin mengambil air dengan cara melobangi perahu, lalu penumpang yang lain tidak mencegahnya, maka seluruh penumpang perahu akan tenggelam semua, bukan hanya orang yang melobangi perahu. Memang terkadang banyak alasan untuk meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya, “nanti saya tidak punya penghasilan, saya khawatir keluarga dan rumah, saya malu untuk berbicara, ini urusan ulul amri (penguasa), ini dan itu.”
7. Menyebarnya Riba
Jika riba sudah merajalela di suatu negeri maka ketahuilah -wahai sekalian hamba Allah- itu hanya tinggal menunggu peperangan dari Allah subhanahu wata’ala. Adzab dari Allah subhanahu wata’ala mungkin berupa krisis, kelaparan , hutang, dikuasai musuh, bencana dan lain-lain. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mu.” (QS. al-Baqarah:278-279)
8. Penghacuran Masjid
Di antara sebab hancurnya sebuah negeri adalah jika masjid-masjid dirobohkan. Merobohkan masjid sebagaimana dikatakan Imam asy-Syaukani ada dua macam:
1. Takhribul hissi , yakni merobohkan masjid secara fisik.
2. Takhribul ma’nawi, yakni menelantarkan dari tujuan dibangunnya masjid, tidak ada kajian, ta’lim, muhadharah, digembok setiap saat, orang dilarang masuk dan lain-lain. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah).” (QS. al-Baqarah: 114)
9. Meninggalkan Jihad
Bagaimana tidak, sebab meninggalkan jihad fi sabilillah artinya membiarkan kerusakan di muka bumi tanpa mau mencegahnya, tidak mau menolong agama Allah subhanahu wata’ala dan al-Haq. Maka jelas sekali jika tidak ada jihad, kerusakan dan keburukan akan terus bercokol. Lihatlah bagaimana akibat meninggalkan jihad, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika kalian asyik berjual beli dengan ‘inah (satu jenis riba), mengikuti ekor-ekor sapi (bertani dan beternak) lalu meninggalkan jihad fi sabilillah maka Allah akan menguasakan kepadamu kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud)
10. Menyebarnya Kekejian
Bentuk-bentuk perbuatan keji amatlah banyak, di antara yang disebutkan dalam hadits adalah khabats (perzinaan), dan ini yang sangat mengkhawatirkan, juga minuman keras, alat-alat musik dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah meyebutkan beberapa kemungkaran beserta akibatnya, di antaranya adalah:
1. Tidaklah tersebar perzianaan kecuali Allah akan menurunkan tha’un dan penyakit aneh yang tidak pernah ada di masa lalu.
2. Tidaklah manusia mengurangi timbangan dan takaran (termasuk riba, menipu dalam jual beli dll) kecuali Allah akan menimpakan paceklik (kelaparan) kekurangan makanan pokok dan penguasa yang buruk (zhalim).
3. Tidaklan manusia menahan zakatnya kecuali Allah akan menahan turunnya air hujan dari langit, kalau bukan karena binatang ternak maka Allah tidak akan menurunkannya.
4. Tidaklah mereka merusak janji dengan Allah dan Rasul kecuali Allah akan menguasakan mereka kepada musuh. (Kholif Abu Ahmad)
Sumber : www.as-sofwah.or.id dari Sumber asal : Naskah Khutbah Jum’at “Asbab Hilak al-Umam”, Syaikh Nabil al-’Awadhi.
Apabila seseorang itu menjadi kekasih Allah, nescaya dia akan mendapat pertolongan dan penjagaan daripada Allah swt
Isnin, 5 September 2011
Khutbah Aidil Fitri 1432 : Islamlah Nescaya Kita Selamat
KHUTBAH PERTAMAاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا و الحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلا . الحَمْدُ ِللهِ الَّذِى وَفَّقَنَا لِعِبَادَتِهِ . وَجَعَلَ هذَا اليَوْمَ فَرْحًا لِعِبَادِهِ الُمتَّقِيْنَ الَّذِيْنَ فَازُوْا بِصِيَامِ رَمَضَانَ وَقِيَامِهِ .وَأَشْهَدُ أَنْ لاإِلهَ إِلا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ .
أَمَّا بَعْدُ…. فَيَا أَيُّهَا المُسْلِمُوْنَ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاتمَوُتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Firman Allah dalam ayat 7 dan 10 surah as-Syamsi :
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا ﴿٧﴾ فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا ﴿٨﴾ قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا ﴿٩﴾ وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Maksudnya : Demi diri manusia dan Yang menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengan keadaannya); Serta mengilhamkannya (untuk mengenal) jalan yang membawanya kepada kejahatan, dan yang membawanya kepada bertaqwa; Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya – yang sedia bersih – bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan), Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya – yang sedia bersih – itu susut dan terbenam kebersihannya (dengan sebab kekotoran maksiat).
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah,
Selamat hari raya Aidilfitri diucapkan kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat. Kita baru sahaja melalui tarbiah Ramadhan yang merupakan suatu proses dalam melahirkan hamba Allah yang bertaqwa. Antara ciri hamba Allah yang bertaqwa sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Mas’ud ialah sentiasa mentaati Allah dan tidak mengengkari perintahNya termasuk ketika menyambut hari raya.
Tanda taat marilah kita penuhi hari raya kita dengan amal ibadat disamping menjauhi larangan Allah seperti membuka aurat, pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan, hiburan melampau dan sebagainya. Ciri hamba Allah yang taqwa juga sentiasa mengingati Allah dan tidak melupaiNya.
Buktikan diri kita sebagai hamba Allah bukannya hamba Ramadhan iaitu jangan pada bulan Ramadhan sahaja kita melawan hawa nafsu sedangkan bila menyambut hari raya maka kita menjadi hamba kepada nafsu yang menyuruh kepada kejahatan.
Ciri hamba Allah yang bertaqwa seterusnya ialah sentiasa bersyukur kepada Allah dan tidak mengkufuri nikmatNya. Tidakkah kita berasa malu menyambut hari raya dengan amalan maksiat sedangkan hari raya adalah anugerah Allah. Ia umpama kita menyertai majlis jemputan orang tetapi melakukan perkara yang tidak disukai oleh tuan rumah.
Sempena menyambut hari raya juga marilah kita sama-sama berdoa agar dapat meraih tawaran Allah yang dijanjikan sepanjang Ramadhan baru lalu iaitu rahmat, keampunan dosa dan dijauhkan daripada azab neraka.
Kita tidak mahu termasuk dalam golongan yang jauh daripada rahmat Allah sebagaimana yang diberitahu oleh nabi Muhammad s.a.w iaitu golongan yang keluar daripada Ramadhan dalam keadaan dosanya belum lagi diampuni oleh Allah. Ingatlah bahawa kita bukan mahu menyambut hari raya di dunia sahaja sebaliknya apa yang lebih kita idamkan ialah menyambut hari raya dalam Syurga Allah di akhirat nanti.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
Renungilah suatu hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim :
قال الرسول : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Maksudnya : Sesiapa yang mahu diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka
hendaklah dia menghubungkan silaturrahim Gema takbir membesarkan Allah dan tahmid memuji Allah yang berkumandang setiap kali tibanya hari raya mestilah meresap ke dalam hati sanubari bukan setakat disebut di mulut sahaja.
Pastikan laungan hari raya itu dijadikan ikrar taat setia kepada Allah dalam setiap tindak tanduk kita termasuk menyambut hari raya yang merupakan hari gembira. Nikmat hari raya ini mesti digunakan untuk merapatkan lagi hubungan kekeluargaan dan silaturrahim sesama kita.
Hubungan ini semakin renggang walau pun kemudahan perhubungan dan system maklumat semakin canggih. Masing-masing sibuk dengan urusan masing-masing sehingga suasana kasih sayang terabai dan memberi kesan bukan sahaja dalam keluarga malah melarat kepada masyarakat sekitar.
Kes perceraian yang semakin meningkat ketika masyarakat semakin terpelajar disebabkan suami atau isteri gagal menjalankan tanggungjawab rumahtangga, harapan untuk hidup mewah tidak tercapai, akhlak pasangan yang tidak baik, mengutamakan kawan lebih daripada pasangan disamping campur tangan pihak ketiga sebagai penghasut termasuk ahli keluarga terdekat dan faktor lain.
Begitu juga penderaan terhadap anak-anak ditambah dengan masalah penderhakaan terhadap kedua ibubapa yangsemakin menjadi-jadi. Oleh itu jadikanlah hari raya di dalam menyuburkan kembali kasih sayang supaya kita tidak termasuk dalam golongan yang memutuskan silaturrahim apatah lagi menjadi golongan yang dijauhkan daripada rahmat Allah sebagaimana yang pernah diperingatkan oleh nabi Muhammad s.a.w iaitu anak yang sempat hidup bersama kedua ibubapa atau salah seorang daripada keduanya namun tidak berusaha berbuat baik kepada ibubapa dengan pelbagai alasan.
Betapa ramai ibubapa yang sanggup mati demi memastikan anaknya terus hidup sedangkan betapa ramai anak yang menginginkan ibubapanya lekas mati supaya tidak lagi menjadi bebanan hidupnya. Ingatlah Islam meletakkan ibubapa di tempat yang mulia.
Keredhaan Allah terletak kepada keredhaan ibubapa, kemurkaan Allah terletak kepada kemurkaan ibubapa. Sekiranya ibubapa kita telah meninggal dunia jangan lupa untuk kita doakan kesejahteraan meraka ketika berada di alam barzakh dan akhirat nanti. Jangan hanya tahu makan harta pusaka jerih penat lelah ibubapa sedangkan sepotong doakan pun susah dipanjatkan ke hadrat Allah buat mereka. Laksanakanlah perintah Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 24 surah al-Isra’ :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Maksdunya : Dan hendaklah engkau merendah diri kepada keduanya kerana belas kasihan dan kasih sayangmu, dan doakanlah (untuk mereka, dengan berkata): “Wahai Tuhanku! Cucurilah rahmat kepada mereka berdua sebagaimana mereka telah mencurahkan kasih sayangnya memelihara dan mendidikku semasa kecil.”
Muslimin dan muslimat yang dihormati sekalian,
Tarbiah Ramadhan yang bukan sahaja menahan perut daripada lapar dahaga malah daripada sumber haram disamping mengawal seluruh pancaindera iaitu tangan, kaki, mata, telinga, lidah, kemaluan termasuk hati daripada melakukan maksiat kepada Allah di mana tarbiah ini sekiranya dihayati betul-betul dalam kehidupan sudah pasti lahir lebih ramai pemimpin sebaik Sayyidina Abu Bakar yang sentiasa mengeluh bimbang sekiranya masih ada walau pun seekor kambing yang tersepit di hujung negara akibat beliau tidak empat membantunya.
Pasti lahir pemimpin sehebat Sayyidina Umar al-Khottab yang pernah mengungkap sekiranya rakyat lapar maka aku ingin menjadi orang pertama yang merasai lapar itu dan sekiranya rakyat telah kenyang biarlah aku orang terakhir yang merasainya. Semakin ramai lahir pemimpin seadil Umar bin Abdul Aziz yang sentiasa menekankan sekiranya pemimpin hidup dalam kemewahan maka rakyat terus menderita dalam kemiskinan sebaliknya sekiranya pemimpin sanggup membuang segala kekayaan maka rakyat pasti merasai nikmat kekayaan.
Kita tidak mahu terus mendengar seruan agar rakyat berjimat cermat termasuk arahan terbaru agar suhu alat pendingin udara di semua bangunan kerajaan akan ditetapkan tidak urang daripada 24 darjah Celsius sedangkan kediaman rasmi 2 pemimpin utama Negara mencecah RM10.2 juta bagi bil elektrik dan RM1.9 juta untuk bil air untuk 5 tahun iaitu dari tahun 2006 hingga 2010 di mana jika jumlah itu dibahagikan mengikut bulan, kerajaan membelanjakan RM160,000 untuk bil elektrik dan RM33,000 untuk bil air sebulan.
Betapa tingginya kos wang negara dihabiskan begitu sahaja ketika rakyat dibebankan dengan kenaikan harga barang dan tariff elektrik. Itu belum dikira lagi dengan projek mega untuk menunjuk-nunjuk bukan untuk kepentingan awam disamping pecah amanah dan rasuah yang melibatkan berbilion-bilion harta rakyat.
Akhirnya yang papa makin papa, yang kaya makin kaya. Kita jangan menjadi orang yang menyebabkan semakin jelas timbulnya tanda qiamat antaranya tidak mengambil berat tentang pemilihan pemimpin sebagaimana amaran nabi Muhammad s.a.w dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari :
فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَة فَانْتَظِرِ السَّاعَة قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Maksudnya: Maka apabila telah jelas penyelewengan terhadap amanah maka tunggulah kebinasaan. Tanya sahabat : Bagaimanakah berlakunya penyelewengan. Sabdanya : Apabila diserahkan urusan memikul amanah kepada bukan orang yang berkelayakan maka tunggulah saat kehancuran
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الحَمْدُ
Firman Allah dalam ayat 32 surah Faatir :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Maksudnya: Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri, ada yang bersederhana dan ada yang berlumba-lumba berbuat kebaikan dengan izin Allah, yang demikian itu adalah kurniaan yang amat besar
Berlalunya Ramadhan bukan bererti berpisahnya kita daripada hidup bersama al-Quran bukan sahaja dari sudut pembacaan malah meliputi pemahaman seterusnya pelaksanaan system al-Quran dalam setiap aspek kehidupan termasuk ibadat khusus, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
Ayat 32 surah Faatir contohnya menggambarkan 3 kelompok manusia yang berbeza pendirian terhadap al-Quran iaitu :
[1] Golongan yang menganiayai diri sendiri iaitu golongan yang kesalahan dosa mereka lebih banyak daripada pahala kebaikan. Sebabnya, mereka tidak membaca al-Quran, memahami apatah lagi beramal dengan perintah Allah di dalamnya. Akibat jahil tentang agama sendiri maka mereka mudah terikut dengan cara hidup barat yang negatif termasuk masalah lelaki berpakaian dan bersikap seperti perempuan yang dinamakan pondan atau perempuan berpakaian dan berperangai seperti lelaki yang dinamakan tomboy semakin bertambah.
Kadang-kadang sikap masyarakat yang suka menggunakan khidmat pondan dalam menghias pengantin perempuan sedangkan ia adalah haram menyebabkan penyakit ini semakin merebak. Apa yang lebih teruk bila masalah penukaran jantina melalui pembedahan alat kelamin sudah berleluasa sehingga ada tuntutan mahkamah untuk mengiktiraf penukaran jantina di kalangan umat Islam sendiri. Ingatlah amaran nabi s.a.w melalui suatu hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari daripada Ibnu Abbas katanya
لَعَنَ النَّبِيُّ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ
Maksudnya: Nabi telah melaknat para pondan dari kalangan lelaki dan para perempuan yang menyerupai lelaki iaitu dari segi pemakaian dan tutur kata
[2] Golongan yang bersederhana iaitu golongan di mana kesalahan dosa mereka sama banyak dengan pahala. Mereka adalah golongan yang membaca al-Quran tetapi belum bersedia melaksanakan isi kandungannya yang terdiri daripada hukum hakam Allah. Ingatlah kita kepada suatu amaran nabi yang bermaksud :
Akan zahir di kalangan umatku di akhir zaman, orang yang membaca al-Quran tetapi al-Quran hanya sampai ke halkumnya sahaja tetapi tidak sampai ke dalam hati
[3] Golongan yang berlumba-lumba berbuat kebaikan. Mereka amat banyak melakukan kebaikan dan jarang membuat kesalahan. Mereka adalah golongan yang bersedia melaksanakan hukum al-Quran dalam kehidupan seharian. Inilah golongan yang mendapat kejayaan di dunia dan akhirat
Muslimin dan muslimat yang diberkati Allah,
Firman Allah dalam ayat 64 surah Ali ‘Imran:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّـهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّـهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Maksudnya : Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai Ahli Kitab, marilah kepada satu Kalimah yang bersamaan antara kami dengan kamu, iaitu kita semua tidak menyembah melainkan Allah, dan kita tidak sekutukan denganNya sesuatu jua pun; dan jangan pula sebahagian dari kita mengambil akan sebahagian yang lain untuk dijadikan orang-orang yang dipuja dan didewa-dewakan selain dari Allah”. Kemudian jika mereka (Ahli Kitab itu) berpaling (enggan menerimanya) maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah kamu bahawa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam”
Kita menyambut hari raya tahun ini dalam suasana sambutan kemerdekaan negara kali ke-54 namun hubungan antara kaum dan agama bagaikan terus dilanda masalah besar terutama isu kaum dan agama dijadikan modal politik demi kepentingan diri bukannya mahu diselesaikan sebagaimana yang diajar oleh Islam. Api perkauman dan perbalahan agama dihangat melalui tv, radio, akhbar, internet agar rakyat menjadi risau dan mencari jalan singkat untuk terus mengekalkan kezaliman pemimpin.
Masalah murtad yang kembali hangat dibicara tahun ini bermula dengan jawapan menteri dalam parlimen bahawa Mahkamah Syariah menerima 863 kes permohonan untuk menukar status agama Islam dari tahun 2000 hingga 2010 di mana 168 diluluskan walau pun selepas itu pelbagai alasan diberikan samada yang diluluskan bukan murtad tetapi disahkan tidak Islam sejak awal lagi dan alasan kesilapan nama seperti nama orang Islam sehingga ditulis beragama Islam tetapi apabila dirujuk semula maka ditukar status kepada bukan Islam.
Adanya umat Islam yang terpaksa menerima bantuan gereja dan kuil atas alasan payah mendapat bantuan kebajikan dan zakat di mana ia dibimbangi dimurtadkan dengan cara halus. Begitu juga dakwaan ada guru tuisyen mengajar muridnya beragama Islam menyanyikan lagu memuji kebesaran Nabi Isa.
Sebuah pusat tuisyen dan sekolah yang telah mengajar murid-murid Islam Tahun 1 tentang perkara-perkara yang membabitkan agama Kristian. Dilaporkan juga, murid yang belajar secara percuma daripada sekumpulan pemuda-pemudi bukan berbangsa Melayu di kawasan itu, telah diajar menyanyikan lagu memuji Nabi Isa sambil menunjukkan isyarat tangan simbol salib.
Selain itu, murid-murid itu juga dikatakan, mampu bercerita kisah Nabi Isa, termasuk Nabi Isa disalib dan diterapkan ajaran Kristian secara halus ketika belajar. Berita-berita ini semua wajib diberi perhatian dengan beberapa tindakan segera iaitu
[1] undang-undang murtad wajib digubal segera dan penguatkuasaan undang-undang menyekat orang bukan Islam daripada memurtadkan umat Islam
[2] apa yang lebih penting ialah ilmu agar umat Islam bukan sahaja tidak mudah diperdaya malah mampu memberi penjelasan Islam terhadap bukan Islam
[3] dari segi kebajikan umat Islam mesti diambil tahu oleh semua pihak terutama pemimpin agar mereka tidak menagih simpati daripada bukan Islam
[4] Pemerkasaan dakwah Islam kerana kita sepatutnya berasa malu dengan keadaan perkembangan Islam di Eropah di mana mengikut suatu kajian dalam setiap 4 warga barat seorang daripadanya adalah Muslim dan peneliti Barat menganggarkan dalam 50 tahun ke hadapan Eropah akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam. Paderi melahirkan kebimbangan apabila gereja seluruh dunia semakin lengang dan banyak yang bertukar menjadi masjid.
[5] Perlu diperbanyakkan lagi dialog antara ulama’ Islam dengan orang bukan Islam agar api perbalahan antara agama dapat diredakan. Isu agama mesti diselesaikan cara agama bukan melalui hawa nafsu kerana ia boleh membawa kerugian dan kerosakan. Perundangan, ilmu dan dakwah mesti bergerak selari agar dakwah Islam kembali berkembang pesat dan permusuhan terhadap Islam dapat ditangani dengan penuh bijaksana.
Kita tahu bahawa yahudi dan Kristian sentiasa memusuhi kita tetapi dengan kebijaksanaan kita berdepan dengan jarum dan senjata mereka sepastinya akan terserlah bahawa Islam itu agama yang tertinggi tiada agama dan sistem lain yang dapat menandingi Islam. Islamlah nescaya kita selamat dunia akhirat.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ
وَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الُمْسِلِمْينَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ فَيَا فَوْزَ المُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ
sumber : www.ekhutbah.wordpress.com
http://www.jheains.sabah.gov.my/downloads/hari-raya-haji/Pruf%20KHUTBAH%20AIDILADHA%201430H.doc
Khamis, 28 Julai 2011
11 JENIS MANUSIA DIDOA MALAIKAT
23 March 2009 |
PERCAYA kepada malaikat adalah antara rukun iman. Ada malaikat yang ditugaskan berdoa kepada makhluk manusia dan sudah tentu seseorang yang didoakan malaikat mendapat keistimewaan. Dalam hidup, kita sangat memerlukan bantuan rohani dalam menghadapi ujian yang kian mencabar. Bantuan dan sokongan malaikat sangat diperlukan. Kali ini penulis ingin menyenaraikan antara jenis manusia yang akan menerima doa malaikat. Ketika kita menghadapi masalah, kerumitan, keperluan dan bimbingan, bukan saja kita perlukan kekuatan doa dari lidah, tetapi juga sokongan malaikat. Antara orang yang mendapat doa malaikat ialah: 1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya: "Sesiapa yang tidur dalam keadaan suci, malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa: "Ya Allah, ampunilah hamba-Mu si fulan kerana tidur dalam keadaan suci." 2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu solat. Rasulullah s.a.w bersabda maksudnya: "Tidaklah salah seorang antara kalian yang duduk menunggu solat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali kalangan malaikat akan mendoakannya: 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia.'" 3. Orang yang berada di saf depan solat berjemaah. Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya: "Sesungguhnya Allah dan kalangan malaikat-Nya berselawat ke atas (orang) yang berada pada saf depan." 4. Orang yang menyambung saf pada solat berjemaah (tidak membiarkan kekosongan di dalam saf). Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya: "Sesungguhnya Allah dan kalangan malaikat selalu berselawat kepada orang yang menyambung saf." 5. Kalangan malaikat mengucapkan 'amin' ketika seorang imam selesai membaca al-Fatihah. Rasulullah s.a.w bersabda maksudnya: "Jika seorang imam membaca...(ayat terakhir al-Fatihah sehingga selesai), ucapkanlah oleh kamu 'aamiin' kerana sesiapa yang ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, dia akan diampuni dosanya yang lalu." 6. Orang yang duduk di tempat solatnya selepas melakukan solat. Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya: "Kalangan malaikat akan selalu berselawat kepada satu antara kalian selama ia ada di dalam tempat solat, di mana ia melakukan solat." 7. Orang yang melakukan solat Subuh dan Asar secara berjemaah. Rasulullah s.a.w bersabda maksudnya: "Kalangan malaikat berkumpul pada saat solat Subuh lalu malaikat (yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga Subuh) naik (ke langit) dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. "Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu solat Asar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga solat Asar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal lalu Allah bertanya kepada mereka: "Bagaimana kalian meninggalkan hamba-Ku?" Mereka menjawab: 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan solat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan solat, ampunilah mereka pada hari kiamat.'" 8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa pengetahuan orang yang didoakan. Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya: "Doa seorang Muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa pengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, malaikat itu berkata 'aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.'" 9. Orang yang membelanjakan harta (infak). Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya: "Tidak satu hari pun di mana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali dua malaikat turun kepadanya, satu antara kedua-duanya berkata: 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak...'" 10. Orang yang sedang makan sahur. Rasulullah s.a.w bersabda maksudnya: "Sesungguhnya Allah dan kalangan malaikat-Nya berselawat kepada orang yang sedang makan sahur." 11. Orang yang sedang menjenguk (melawat) orang sakit. Rasulullah s.a.w bersabda, maksudnya: "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70,000 malaikat untuknya yang akan berselawat kepadanya di waktu siang hingga petang dan di waktu malam hingga Subuh." Itulah antara mereka yang mendapat doa malaikat. Semoga kita termasuk dan tersenarai sama. |
Isnin, 18 Julai 2011
Uwais al-Qarni.
Nabi berpesan kepada Umar dan Ali :
“ Akan lahir di kalangan Tabiin seorang insan yang doanya sangat makbul. Namanya Uwais al-Qarni dan dia akan lahir di zaman kamu. ”
Kita telah mengenali siapa dia Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali iaitu orang-orang yang telah disenaraikan sebagai “ al-Mubasyirun bil Jannah ” iaitu mereka sudah dijamin masuk syurga. Nabi seterusnya berkata kepada Umar dan Ali :
“ Di zaman kamu nanti akan lahir seorang insan yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdoa untuk kamu berdua.”
Umar dan Ali bertanya kepada Nabi s.a.w. soalan yang sama iaitu :
“ Apakah yang patut saya minta daripada Uwais al-Qarni, Ya Rasulullah? “
Nabi menjawab :
“ Kamu minta kepadanya supaya dia berdoa kepada Allah agar Allah ampunkan dosa-dosa kalian.”
Banyak peristiwa sahabat yang berjumpa dengan Nabi s.a.w. , minta sesuatu yang baik kepada mereka, Nabi s.a.w. menjawab :
“ Pohonlah al-Maghfirah daripada Allah swt. ”
Maka topik al-Maghfirah (keampunan) ini menjadi topik yang begitu dicari, yang begitu relevan, hatta kepada orang yang telah disenaraikan sebagai ahli syurga. Kalau secara logiknya, ahli syurga seolah tidak perlu kepada pengampunan dosa daripada Allah s.w.t. kerana mereka sudah dijamin masuk syurga, namun tidak, Nabi s.a.w. masih menekankan supaya meminta Allah untuk mengampunkan dosa.
Suatu hari ibunya memberitahu kepada Uwais bahawa dia ingin sangat untuk pergi mengerjakan haji. Dia menyuruh Uwais supaya mengikhtiarkan dan mengusahakan agar dia dapat dibawa ke Mekah untuk menunaikan haji. Sebagai seorang yang miskin, Uwais tidak berdaya untuk mencari perbelanjaan untuk ibunya kerana pada zaman itu kebanyakan orang untuk pergi haji dari Yaman ke Mekah mereka menyediakan beberapa ekor unta yang dipasang di atasnya “ Haudat ”. Haudat ini seperti rumah kecil yang diletakkan di atas unta untuk melindungi panas matahari dan hujan, selesa dan perbelanjaannya mahal. Uwais tidak mampu untuk menyediakan yang demikian, unta pun dia tidak ada, nak sewa pun tidak mampu.
Ibu Uwais semakin uzur hari demi hari dan berkata kepada anaknya pada suatu hari :
“ Anakku, mungkin ibu dah tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkanlah agar ibu dapat mengerjakan haji. ”
Uwais mendapat suatu ilham. Dia membeli seekor anak lembu yang baru lahir dan sudah habis menyusu. Dia membuat sebuah rumah kecil (pondok) di atas sebuah “Tilal” iaitu sebuah tanah tinggi (rumah untuk lembu itu di atas bukit). Apa yang dia lakukan, pada petang hari dia dukung anak lembu untuk naik ke atas “Tilal”. Pagi esoknya dia dukung lembu itu turun dari “Tilal” untuk diberi makan. Itulah yang dilakukannya setiap hari. Ada ketikanya dia mendukung lembu itu mengelilingi bukit tempat dia beri lembu itu makan. Perbuatan yang dilakukannya ini menyebabkan orang kata dirinya gila.
Memang pelik, membuatkan rumah untuk lembu di atas bukit, kemudian setiap hari mengusung lembu, petang bawa naik, pagi bawa turun bukit. Namun sebenarnya jika dilihat di sebaliknya, Uwais seorang yang bijak. Lembu yang asalnya hanya 20kg, selepas enam bulan lembu itu sudah menjadi 100kg. Otot-otot tangan dan badan Uwais pula menjadi kuat hinggakan dengan mudah mengangkat lembu seberat 100kg turun dan naik bukit setiap hari.
Selepas lapan bulan, telah sampai musim haji, rupa-rupanya perbuatannya itu adalah satu persediaan untuk dia membawa ibunya mengerjakan haji. Dia telah memangku ibunya dari Yaman sampai ke Mekkah dengan kedua tangannya. Di belakangnya dia meletakkan barang-barang keperluan seperti air, roti dan sebagainya. Lembu yang beratnya 100kg boleh didukung dan dipangku inikan pula ibunya yang berat sekitar 50kg. Dia membawa (mendukung dan memangku) ibunya dengan kedua tangannya dari Yaman ke Mekah, mengerjakan Tawaf, Saie dan di Padang Arafah dengan senang sahaja. Dan dia juga memangku ibunya dengan kedua tangannya pulang semula ke Yaman dari Mekah.
Setelah pulang semula ke Yaman, ibunya bertanya :
“ Uwais, apa yang kamu doa sepanjang kamu berada di Mekah? ”
Uwais menjawab :
“ Saya berdoa minta supaya Allah mengampunkan semua dosa-dosa ibu”.
Ibunya bertanya lagi :
“ Bagaimana pula dengan dosa kamu? ”
Uwais menjawab :
“ Dengan terampun dosa ibu, ibu akan masuk syurga, cukuplah ibu redha dengan saya maka saya juga masuk syurga. “
Ibunya berkata lagi :
“Ibu nak supaya engkau berdoa agar Allah hilangkan sakit putih (sopak) kamu ini. “
Uwais berkata :
“ Saya keberatan untuk berdoa kerana ini Allah yang jadikan. Kalau tidak redha dengan kejadian Allah, macam saya tidak bersyukur dengan Allah Ta’ala. “
Ibunya menambah :
“ Kalau nak masuk syurga, kena taat kepada perintah ibu, ibu perintahkan engkau berdoa. ”
Akhirnya Uwais tidak ada pilihan melainkan mengangkat tangan dan berdoa. Uwais berdoa seperti yang ibunya minta supaya Allah sembuhkan putih yang luar biasa (sopak) yang dihidapinya itu. Namun kerana dia takut masih ada dosa pada dirinya dia berdoa :
“ Tolonglah Ya Allah! Kerana ibuku, aku berdoa hilangkan yang putih pada badanku ini melainkan tinggalkan sedikit. ”
Allah s.w.t. menyembuhkan serta merta, hilang putih sopak di seluruh badannya kecuali tinggal satu tompok sebesar duit syiling di tengkuknya. Tanda tompok putih kekal pada Uwais kerana permintaannya, kerana ini (sopak) adalah anugerah, maka inilah tanda pengenalan yang disebut Nabi s.a.w. kepada Umar dan Ali.
” Tandanya kamu nampak di belakangnya ada satu bulatan putih, bulatan sopak. Kalau berjumpa dengan tanda itu dialah Uwais al-Qarni. “
Tidak lama kemudian, ibunya telah meninggal dunia. Dia telah menunaikan kesemua permintaan ibunya. Selepas itu dia telah menjadi orang yang paling tinggi martabatnya di sisi Allah. Sayyidina Umar dan Sayidina Ali dapat berjumpa dengan Uwais dan seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. , mereka meminta supaya Uwais berdoa agar Allah swt. mengampunkan semua dosa-dosa mereka. Ketika Uwais al-Qarni berjumpa Umar dan Ali, dia berkata :
“ Aku ini datang dari Yaman ke Madinah kerana aku ingin menunaikan wasiat Nabi kepada kamu iaitu supaya kamu berdua berjumpa dengan aku. “
Maka Uwais pun telah mendoakan untuk mereka berdua.
Dipetik dari:
www.iluvislam.com
“ Akan lahir di kalangan Tabiin seorang insan yang doanya sangat makbul. Namanya Uwais al-Qarni dan dia akan lahir di zaman kamu. ”
Kita telah mengenali siapa dia Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali iaitu orang-orang yang telah disenaraikan sebagai “ al-Mubasyirun bil Jannah ” iaitu mereka sudah dijamin masuk syurga. Nabi seterusnya berkata kepada Umar dan Ali :
“ Di zaman kamu nanti akan lahir seorang insan yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdoa untuk kamu berdua.”
Umar dan Ali bertanya kepada Nabi s.a.w. soalan yang sama iaitu :
“ Apakah yang patut saya minta daripada Uwais al-Qarni, Ya Rasulullah? “
Nabi menjawab :
“ Kamu minta kepadanya supaya dia berdoa kepada Allah agar Allah ampunkan dosa-dosa kalian.”
Banyak peristiwa sahabat yang berjumpa dengan Nabi s.a.w. , minta sesuatu yang baik kepada mereka, Nabi s.a.w. menjawab :
“ Pohonlah al-Maghfirah daripada Allah swt. ”
Maka topik al-Maghfirah (keampunan) ini menjadi topik yang begitu dicari, yang begitu relevan, hatta kepada orang yang telah disenaraikan sebagai ahli syurga. Kalau secara logiknya, ahli syurga seolah tidak perlu kepada pengampunan dosa daripada Allah s.w.t. kerana mereka sudah dijamin masuk syurga, namun tidak, Nabi s.a.w. masih menekankan supaya meminta Allah untuk mengampunkan dosa.
Memang benarlah firasat seorang Nabi, Uwais al-Qarni telah muncul di zaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali. Mereka memang menunggu dan mencari kabilah-kabilah yang datang dari arah Yaman ke Madinah, akhirnya bertemu mereka dengan Uwais al-Qarni. Dengan pandangan mata kasar, tidak mungkin dia orang yang Nabi s.a.w. maksudkan. Kerana orang itu pada pandangan insan-insan biasa atau orang-orang yang datang bersama dengannya bersama kabilah menganggapkan dia seorang yang kurang berakal.
Siapakah Uwais Al-Qarni?
Asalnya berpenyakit sopak, badannya putih, putih penyakit yang tidak digemari. Walaupun dia seorang berpenyakit sopak tetapi dia seorang yang soleh, terlalu mengambil berat tentang ibunya yang uzur dan lumpuh. Dia telah begitu tekun untuk mendapatkan keredhaan ibunya. Bapa dia meninggal dunia ketika dia masih kecil lagi. Dia sopak sejak dilahirkan dan ibunya menjaga dia sampai dia dewasa.Suatu hari ibunya memberitahu kepada Uwais bahawa dia ingin sangat untuk pergi mengerjakan haji. Dia menyuruh Uwais supaya mengikhtiarkan dan mengusahakan agar dia dapat dibawa ke Mekah untuk menunaikan haji. Sebagai seorang yang miskin, Uwais tidak berdaya untuk mencari perbelanjaan untuk ibunya kerana pada zaman itu kebanyakan orang untuk pergi haji dari Yaman ke Mekah mereka menyediakan beberapa ekor unta yang dipasang di atasnya “ Haudat ”. Haudat ini seperti rumah kecil yang diletakkan di atas unta untuk melindungi panas matahari dan hujan, selesa dan perbelanjaannya mahal. Uwais tidak mampu untuk menyediakan yang demikian, unta pun dia tidak ada, nak sewa pun tidak mampu.
Ibu Uwais semakin uzur hari demi hari dan berkata kepada anaknya pada suatu hari :
“ Anakku, mungkin ibu dah tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkanlah agar ibu dapat mengerjakan haji. ”
Uwais mendapat suatu ilham. Dia membeli seekor anak lembu yang baru lahir dan sudah habis menyusu. Dia membuat sebuah rumah kecil (pondok) di atas sebuah “Tilal” iaitu sebuah tanah tinggi (rumah untuk lembu itu di atas bukit). Apa yang dia lakukan, pada petang hari dia dukung anak lembu untuk naik ke atas “Tilal”. Pagi esoknya dia dukung lembu itu turun dari “Tilal” untuk diberi makan. Itulah yang dilakukannya setiap hari. Ada ketikanya dia mendukung lembu itu mengelilingi bukit tempat dia beri lembu itu makan. Perbuatan yang dilakukannya ini menyebabkan orang kata dirinya gila.
Memang pelik, membuatkan rumah untuk lembu di atas bukit, kemudian setiap hari mengusung lembu, petang bawa naik, pagi bawa turun bukit. Namun sebenarnya jika dilihat di sebaliknya, Uwais seorang yang bijak. Lembu yang asalnya hanya 20kg, selepas enam bulan lembu itu sudah menjadi 100kg. Otot-otot tangan dan badan Uwais pula menjadi kuat hinggakan dengan mudah mengangkat lembu seberat 100kg turun dan naik bukit setiap hari.
Selepas lapan bulan, telah sampai musim haji, rupa-rupanya perbuatannya itu adalah satu persediaan untuk dia membawa ibunya mengerjakan haji. Dia telah memangku ibunya dari Yaman sampai ke Mekkah dengan kedua tangannya. Di belakangnya dia meletakkan barang-barang keperluan seperti air, roti dan sebagainya. Lembu yang beratnya 100kg boleh didukung dan dipangku inikan pula ibunya yang berat sekitar 50kg. Dia membawa (mendukung dan memangku) ibunya dengan kedua tangannya dari Yaman ke Mekah, mengerjakan Tawaf, Saie dan di Padang Arafah dengan senang sahaja. Dan dia juga memangku ibunya dengan kedua tangannya pulang semula ke Yaman dari Mekah.
Setelah pulang semula ke Yaman, ibunya bertanya :
“ Uwais, apa yang kamu doa sepanjang kamu berada di Mekah? ”
Uwais menjawab :
“ Saya berdoa minta supaya Allah mengampunkan semua dosa-dosa ibu”.
Ibunya bertanya lagi :
“ Bagaimana pula dengan dosa kamu? ”
Uwais menjawab :
“ Dengan terampun dosa ibu, ibu akan masuk syurga, cukuplah ibu redha dengan saya maka saya juga masuk syurga. “
Ibunya berkata lagi :
“Ibu nak supaya engkau berdoa agar Allah hilangkan sakit putih (sopak) kamu ini. “
Uwais berkata :
“ Saya keberatan untuk berdoa kerana ini Allah yang jadikan. Kalau tidak redha dengan kejadian Allah, macam saya tidak bersyukur dengan Allah Ta’ala. “
Ibunya menambah :
“ Kalau nak masuk syurga, kena taat kepada perintah ibu, ibu perintahkan engkau berdoa. ”
Akhirnya Uwais tidak ada pilihan melainkan mengangkat tangan dan berdoa. Uwais berdoa seperti yang ibunya minta supaya Allah sembuhkan putih yang luar biasa (sopak) yang dihidapinya itu. Namun kerana dia takut masih ada dosa pada dirinya dia berdoa :
“ Tolonglah Ya Allah! Kerana ibuku, aku berdoa hilangkan yang putih pada badanku ini melainkan tinggalkan sedikit. ”
Allah s.w.t. menyembuhkan serta merta, hilang putih sopak di seluruh badannya kecuali tinggal satu tompok sebesar duit syiling di tengkuknya. Tanda tompok putih kekal pada Uwais kerana permintaannya, kerana ini (sopak) adalah anugerah, maka inilah tanda pengenalan yang disebut Nabi s.a.w. kepada Umar dan Ali.
” Tandanya kamu nampak di belakangnya ada satu bulatan putih, bulatan sopak. Kalau berjumpa dengan tanda itu dialah Uwais al-Qarni. “
Tidak lama kemudian, ibunya telah meninggal dunia. Dia telah menunaikan kesemua permintaan ibunya. Selepas itu dia telah menjadi orang yang paling tinggi martabatnya di sisi Allah. Sayyidina Umar dan Sayidina Ali dapat berjumpa dengan Uwais dan seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. , mereka meminta supaya Uwais berdoa agar Allah swt. mengampunkan semua dosa-dosa mereka. Ketika Uwais al-Qarni berjumpa Umar dan Ali, dia berkata :
“ Aku ini datang dari Yaman ke Madinah kerana aku ingin menunaikan wasiat Nabi kepada kamu iaitu supaya kamu berdua berjumpa dengan aku. “
Maka Uwais pun telah mendoakan untuk mereka berdua.
Dipetik dari:
www.iluvislam.com
Rabu, 4 Mei 2011
SIKAP SYI'AH TERHADAP UMAR AL-KHATTAB
Siapakah pembunuh Saidina Umar al-Khattab r.a.? Dia ialah Abu Lu’lu’ah al-Farisi al-Majusi. Menurut Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Minhaj as-sunnah an-nabawiyah, Abu Lu’lu’ah adalah kafir dengan kesepakatan seluruh Muslim. Dia adalah seorang Majusi penyembah api.
Tambahnya lagi, Abu Lu;lu’ah membunuh Saidina Umar r.a. kerana kemarahannya kepada Islam dan para pemeluknya dan membalas dendam bagi pihak kuffar terhadap apa yang dilakukan oleh saidina Umar r.a. ke atas mereka ketika menakluk negara mereka, membunuh para pemimpin mereka dan membahagi-bahagikan harta mereka.
Kita sebagai muslim mengeji pembunuhan dan si pembunuh saidina Umar r.a. Namun yang berlaku kepada kelompok Syiah Imamiah adalah sebaliknya. Mereka malah memuji dan memuja Abu Lu’lu’ah si pembunuh Saidina Umar r.a.
Ini adalah wajar kerana Syiah amat memusuhi saidina Umar r.a. Dan sebagai antara musuh yang tidak ada tandingnya. Kerana itu golongan Syiah memberi gelaran kepada Abu Lu’lu’ah dengan Baba Syuja’uddin (بابا شجاع الدين).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan di dalam kitab yang sama bahawa golongan Syiah juga berdoa: “Ya Allah! Redhailah Abu Lu’lu’ah dan himpunkanlah aku bersamanya..”
Lihat pada gambar tertulis: Kubur Abu Lu’lu’ah Rahimahullah (Semoga Allah merahmatinya). Gambar ini diambil dari salah satu forum Syiah:
Tambahnya lagi, Abu Lu;lu’ah membunuh Saidina Umar r.a. kerana kemarahannya kepada Islam dan para pemeluknya dan membalas dendam bagi pihak kuffar terhadap apa yang dilakukan oleh saidina Umar r.a. ke atas mereka ketika menakluk negara mereka, membunuh para pemimpin mereka dan membahagi-bahagikan harta mereka.
Kita sebagai muslim mengeji pembunuhan dan si pembunuh saidina Umar r.a. Namun yang berlaku kepada kelompok Syiah Imamiah adalah sebaliknya. Mereka malah memuji dan memuja Abu Lu’lu’ah si pembunuh Saidina Umar r.a.
Ini adalah wajar kerana Syiah amat memusuhi saidina Umar r.a. Dan sebagai antara musuh yang tidak ada tandingnya. Kerana itu golongan Syiah memberi gelaran kepada Abu Lu’lu’ah dengan Baba Syuja’uddin (بابا شجاع الدين).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan di dalam kitab yang sama bahawa golongan Syiah juga berdoa: “Ya Allah! Redhailah Abu Lu’lu’ah dan himpunkanlah aku bersamanya..”
Lihat pada gambar tertulis: Kubur Abu Lu’lu’ah Rahimahullah (Semoga Allah merahmatinya). Gambar ini diambil dari salah satu forum Syiah:
Khamis, 21 April 2011
HADITH TSA'LABAH
Hadith: Tsa’labah Tidak Membayar Zakat
1. Maksudnya:
“Celakalah kamu wahai Tsa’labah, sedikit (harta) yang membawa kamu bersyukur lebih baik dari banyak (harta) yang membawa kamu tidak mampu menanggungnya.”
2. Nota:
1. Hadith ini kononnya mengenai seorang sahabat yang bemama Tsa’labah bin Hatib Al-Anshari yang tidak membayar zakat setelah ia meminta dari Nabi SAW supaya mendoakannya menjadi kaya. Ia juga meninggalkan solat berjamaah dan seterusnya solat Jumaat setelah kambingnya semakin membiak dalam jumlah yang banyak. Sampai kepada zaman pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Uthman, kesemuanya enggan menerima zakat dari Tsa’labah disebabkan Nabi SAW sendiri pemah enggan menerima zakatnya. Akhimya Tha’labah mati di zaman pemerintahan Uthman RA.
2. Kisah Tsa’labah ini dijadikan sebab turunnya ayat 75-77 Surah At-Taubah. Maksudnya:
“Di antara mereka itu ada yang telah berjanji dengan Allah SWT: Demi jika Dia memberikan kepada kami kurniaNya, nescaya kami sedekahkan dan kami termasuk orang-orang yang soleh. Tatkala Allah memberikan kurniaNya kepada mereka, mereka menjadi bakhil dan berpaling, sedang mereka tetap berpaling. Lalu Allah menjadikan akibat mereka jadi munafiq dalam hatinya sampai pada hari mereka menemuiNya (hari qiamat), disebabkan mereka telah melanggar yang mereka janjikan, lagi kerana mereka berdusta.”
3. Periwayat-Periwayat Hadith:
- At-Thabarani
- Al-Baihaqi
- At-Thabari
4. Status Hadith: SANGAT LEMAH
5. Sebabnya:
Di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi yang dipertikaikan iaitu:
1. Mu’an bin Rifaah As-Salami:
- Kata Imam Abu Hatim: Ditulis hadithnya tapi tidak boleh dijadikan hujah.
- Kata Imam Ibnu Ma’in: Ia lemah.
- Kata Imam Ibnu Hibban: Ia seorang yang mungkar hadithnya.
- Kata Imam Ibnu Hajar: Ia seorang yang lemah hadithnya.
2. Ali bin Yazid Al-Alhani:
- Kata Imam Al-Bukhari: Ia seorang yang mungkar hadithnya.
- Kata Imam An-Nasa’i, Imam Ad-Daruqutni dan Imam Al-Haithami: Ia seorang yang ditinggalkan hadithnya (matruk).
- Kata Imam Abu Zur’ah: Ia tidak kuat.
- Kata Imam Ibnu Abi Hatim: Ia seorang yang lemah hadithnya.
- Kata Imam Ibnu Hajar: Ia lemah.
Kelemahan hadith ini diperkuatkan lagi oleh:
1. Imam Al-Iraqi di dalam “Takhrij Al-Ihya’” dengan kenyataannya bahawa sanad hadith ini lemah.
2. Imam Ibnu Hajar di dalam “Takhrij Ahadith Al-Kasyaf’ dengan kenyataannya bahawa sanad hadith ini sangat lemah.
3. Kata Imam Ibnu Hazm di dalam “Al-Muhalla”: Riwayat ini bathil.
4. Kata Imam Al-Munawi didalam kitabnya “Faidhul Qadir”: Lemah
6. Keterangan:
- Kata Imam Al-Qurtubi di dalam tafsirnya yang bermaksud:
“Tsa’labah adalah ahli Badar dari golongan Ansar dan termasuk dari kalangan orang yang dipersaksikan oleh Allah dan Rasulnya dengan keimanan. Apa yang diriwayat mengenainya (yakni kisahnya serta sebab turun ayat ) adalah tidak sahih”.
- Kata Imam Ibnul Athir didalam kitabnya “Usudhul Ghabah”: Mereka semuanya (yakni Imam Ibnu Mandah, Imam Abu Nu’aim dan Ibnul Abdul Barr) mengatakan bahawa Tsa’labah berperang dalam perperangan Badar.”
- Penegasan tentang penyertaan Tsa’labah dalam perperangan Badar dikuatkan lagi oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Ibnu Hazm, Imam Abdul Barr dan Imam Ibnu Hajar.
7. Kesimpulan:
- Adalah tidak masuk akal sahabat yang mulia ini, yang dipersaksikan keimanannya oleh Allah dan Rasul melakukan demikian dan sebegitu sekali kesudahan hidupnya.
- Ahli Badar merupakan orang yang terpilih di sisi Allah dan Rasul sebagaimana disebutkan di dalam hadith riwayat Al-Bukhari, maksudnya:
“Datang Jibrail AS bertanya kepada Nabi SAW: Apa pandangan kamu mengenai orang yang berperang di Badar? Jawab Nabi SAW: Mereka adalah orang yang terpilih di kalangan kami”.
- Ahli Badar tidak akan sekali-kali masuk neraka, sabda Nabi SAW di dalam Hadith Riwayat Imam Ahmad yang bermaksud:
“Tidak akan masuk neraka sesiapa yang menghadiri perperangan Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah”.
- Ahli Badar diampunkan dosanya oleh Allah. Allah SWT berfirman dalam Hadith Qudsi riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Tirmidzi yang bermaksud:
“Buatlah apa yang kamu sukai (wahai ahli Badar), sesungguhnya Aku telah mengampunkan segala dosa kamu”.
- Sebaiknya kisah sahabat yang mulia ini tidak lagi dijadikan bahan cerita setelah nyata ianya tidak benar kerana dibimbangi termasuk dalam mencela sahabat-sahabat Nabi SAW. Sabda Nabi SAW dalam Hadith Hiwayat At-Thabarani yang bermaksud:
“Barangsiapa yang mencela sahabat-sahabatku maka ke atasnya laknat Allah, Malaikat dan manusia seluruhnya”.
Allahu a’lam bisshawab..
1. Maksudnya:
“Celakalah kamu wahai Tsa’labah, sedikit (harta) yang membawa kamu bersyukur lebih baik dari banyak (harta) yang membawa kamu tidak mampu menanggungnya.”
2. Nota:
1. Hadith ini kononnya mengenai seorang sahabat yang bemama Tsa’labah bin Hatib Al-Anshari yang tidak membayar zakat setelah ia meminta dari Nabi SAW supaya mendoakannya menjadi kaya. Ia juga meninggalkan solat berjamaah dan seterusnya solat Jumaat setelah kambingnya semakin membiak dalam jumlah yang banyak. Sampai kepada zaman pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Uthman, kesemuanya enggan menerima zakat dari Tsa’labah disebabkan Nabi SAW sendiri pemah enggan menerima zakatnya. Akhimya Tha’labah mati di zaman pemerintahan Uthman RA.
2. Kisah Tsa’labah ini dijadikan sebab turunnya ayat 75-77 Surah At-Taubah. Maksudnya:
“Di antara mereka itu ada yang telah berjanji dengan Allah SWT: Demi jika Dia memberikan kepada kami kurniaNya, nescaya kami sedekahkan dan kami termasuk orang-orang yang soleh. Tatkala Allah memberikan kurniaNya kepada mereka, mereka menjadi bakhil dan berpaling, sedang mereka tetap berpaling. Lalu Allah menjadikan akibat mereka jadi munafiq dalam hatinya sampai pada hari mereka menemuiNya (hari qiamat), disebabkan mereka telah melanggar yang mereka janjikan, lagi kerana mereka berdusta.”
3. Periwayat-Periwayat Hadith:
- At-Thabarani
- Al-Baihaqi
- At-Thabari
4. Status Hadith: SANGAT LEMAH
5. Sebabnya:
Di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi yang dipertikaikan iaitu:
1. Mu’an bin Rifaah As-Salami:
- Kata Imam Abu Hatim: Ditulis hadithnya tapi tidak boleh dijadikan hujah.
- Kata Imam Ibnu Ma’in: Ia lemah.
- Kata Imam Ibnu Hibban: Ia seorang yang mungkar hadithnya.
- Kata Imam Ibnu Hajar: Ia seorang yang lemah hadithnya.
2. Ali bin Yazid Al-Alhani:
- Kata Imam Al-Bukhari: Ia seorang yang mungkar hadithnya.
- Kata Imam An-Nasa’i, Imam Ad-Daruqutni dan Imam Al-Haithami: Ia seorang yang ditinggalkan hadithnya (matruk).
- Kata Imam Abu Zur’ah: Ia tidak kuat.
- Kata Imam Ibnu Abi Hatim: Ia seorang yang lemah hadithnya.
- Kata Imam Ibnu Hajar: Ia lemah.
Kelemahan hadith ini diperkuatkan lagi oleh:
1. Imam Al-Iraqi di dalam “Takhrij Al-Ihya’” dengan kenyataannya bahawa sanad hadith ini lemah.
2. Imam Ibnu Hajar di dalam “Takhrij Ahadith Al-Kasyaf’ dengan kenyataannya bahawa sanad hadith ini sangat lemah.
3. Kata Imam Ibnu Hazm di dalam “Al-Muhalla”: Riwayat ini bathil.
4. Kata Imam Al-Munawi didalam kitabnya “Faidhul Qadir”: Lemah
6. Keterangan:
- Kata Imam Al-Qurtubi di dalam tafsirnya yang bermaksud:
“Tsa’labah adalah ahli Badar dari golongan Ansar dan termasuk dari kalangan orang yang dipersaksikan oleh Allah dan Rasulnya dengan keimanan. Apa yang diriwayat mengenainya (yakni kisahnya serta sebab turun ayat ) adalah tidak sahih”.
- Kata Imam Ibnul Athir didalam kitabnya “Usudhul Ghabah”: Mereka semuanya (yakni Imam Ibnu Mandah, Imam Abu Nu’aim dan Ibnul Abdul Barr) mengatakan bahawa Tsa’labah berperang dalam perperangan Badar.”
- Penegasan tentang penyertaan Tsa’labah dalam perperangan Badar dikuatkan lagi oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Ibnu Hazm, Imam Abdul Barr dan Imam Ibnu Hajar.
7. Kesimpulan:
- Adalah tidak masuk akal sahabat yang mulia ini, yang dipersaksikan keimanannya oleh Allah dan Rasul melakukan demikian dan sebegitu sekali kesudahan hidupnya.
- Ahli Badar merupakan orang yang terpilih di sisi Allah dan Rasul sebagaimana disebutkan di dalam hadith riwayat Al-Bukhari, maksudnya:
“Datang Jibrail AS bertanya kepada Nabi SAW: Apa pandangan kamu mengenai orang yang berperang di Badar? Jawab Nabi SAW: Mereka adalah orang yang terpilih di kalangan kami”.
- Ahli Badar tidak akan sekali-kali masuk neraka, sabda Nabi SAW di dalam Hadith Riwayat Imam Ahmad yang bermaksud:
“Tidak akan masuk neraka sesiapa yang menghadiri perperangan Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah”.
- Ahli Badar diampunkan dosanya oleh Allah. Allah SWT berfirman dalam Hadith Qudsi riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Tirmidzi yang bermaksud:
“Buatlah apa yang kamu sukai (wahai ahli Badar), sesungguhnya Aku telah mengampunkan segala dosa kamu”.
- Sebaiknya kisah sahabat yang mulia ini tidak lagi dijadikan bahan cerita setelah nyata ianya tidak benar kerana dibimbangi termasuk dalam mencela sahabat-sahabat Nabi SAW. Sabda Nabi SAW dalam Hadith Hiwayat At-Thabarani yang bermaksud:
“Barangsiapa yang mencela sahabat-sahabatku maka ke atasnya laknat Allah, Malaikat dan manusia seluruhnya”.
Allahu a’lam bisshawab..
Isnin, 18 April 2011
KISAH HINDUN MEMAMAH HATI SAIDINA HAMZAH R.A
Dipetik dengan sedikit ubahsuai dari buku ‘IBNU ISHAK – Peranannya Dalam Penyebaran Fahaman Syi’ah Di Kalangan Ummah’ karangan Maulana Muhammad Asri Yusoff.
Sebuah kisah yang boleh dikatakan tiada sebuah buku sirah pun yang ditulis kemudian tidak menyebutkannya ialah kisah Hindun memamah, mengunyah atau memakan hati Sayyidina Hamzah semasa atau selepas peperangan Uhud.
Kisah ini adalah ciptaan dan rekaan Ibnu Ishaq. Dialah orang yang mula-mula sekali di dalam dunia ini yang mengemukakan kisah tersebut. Kemudian at-Thabari menyebarkannya tetapi melalui jalan riwayat Ibnu Ishaq. Ringkasnya Ibnu Ishaqlah merupakan satu-satunya paksi dalam meriwayatkan kisah ini.
Ibnu Ishaq berkata, “Mengikut cerita yang sampai kepada saya menerusi Saleh bin Kaisan, Hindun Binti Utbah dan perempuan-perempuan lain bersamanya melakukan ‘mutslah’ terhadap sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang terbunuh.
Mereka memotong telinga-telinga dan hidung-hidung (sahabat-sahabat yang terbunuh itu) sehingga Hindun menyucuk telinga-telinga dan hidung-hidung orang-orang yang terbunuh itu untuk dijadikan sebagai gelang kaki dan kalung-kalung. Dia memberikan gelang kaki, kalung dan subangnya (anting-anting) kepada Wahsyi, hamba Jubair Bin Muth’im. Dia membelah perut Hamzah dan mengambil hatinya lalu dikunyahnya tetapi tidak dapat ditelannya kerana itu dia memuntahkannya keluar.”(Lihat Sirah Ibnu Ishak m.s. 385, Sirah Ibn Hisyam jilid 3 m.s. 36)
Ibnu Jarir at-Thabari pula meriwayatkan dari Muhammad Bin Humaid, dia mengambil cerita ini dari Salamah Al Abrasy. Salamah pula mengambil dari Ibnu Ishaq. Ibnu Ishaq mengatakan, “Saleh Bin Kaisan menceritakan kepadanya…” (Lihat Tarikh al-Umam Wa al-Muluk-at-Thabari jilid 2 m.s. 204)
Salah seorang yang tersebut dalam isnad ini ialah Muhammad Bin Humaid ar-Razi. Beliau ialah penduduk Ray. Dia selalu menukilkan riwayat dari Ya’kub al-Qummi (seorang penulis kitab-kitab Syiah dan selainnya).
Ya’kub bin Syaibah berkata, “Dia selalu mengemukakan riwayat-riwayat yang sangat mungkar.” Imam Bukhari berkata, “Kedudukannya dipertikaikan.” Abu Zura’ah ar-Razi seorang alim senegeri dengannya berkata, “Dia seorang pendusta besar.” Fadlak ar-Razi juga seorang alim senegeri dengannya berkata, “Saya mempunyai 50,000 riwayat Muhammad bin Hummaid ar-Razi tetapi satupun darinya tidak saya kemukakan kepada orang ramai.”
Pernah Ibnu Kharasy mengemukakan riwayat Muhammad bin Humaid lantas dia berkata, “Demi Allah! Dia berbohong.” Ulama’ hadis yang lain berkata bahawa dia selalu mengambil hadis-hadis orang-orang tertentu kemudian menisbahkannya kepada orang lain. Imam Nasa’i berkata, “Dia seorang yang lemah.” Saleh Jazarah berkata, “Tidak pernah saya lihat dalam hidup saya seorang yang lebih mahir berbohong dari dua orang iaitu pertama, Muhammad bin Humaid (ahli sejarah) dan kedua, Sulaiman as-Syazkumi.”
Imam Fadhlak ar-Razi pernah menceritakan bahawa, “Saya pernah pergi kepada Muhammad bin Humaid. Ketika itu dia sedang mereka sanad-sanad cerita-cerita palsu.” Imam Zahabi berkata, “Muridnya Muarrikh (sejarawan) at-Thabari telah menulis dengan penuh yakin bahawa Muhammad bin Humaid tidak ingat al-Quran.” Di akhir hayatnya hanya dua orang yang menerima riwayat-riwayat darinya iaitu:
1) Abul Qasim Baghawi
2) Muhammad bin Jarir at-Thabari
Ibnu Humaid meninggal dunia pada tahun 248 H – (Lihat Mizanu al-I’tidal jilid 3 halaman 530, Tahzibu al-Kamal jilid 6 m.s. 286-287).
Seorang lagi yang ada dalam isnad Ibnu Ishak ini ialah Salamah al-Abrasy yang nama penuhnya Salamah bin Fadhl. Dia terkenal dengan gelaran al-Abrasy. Pernah menjadi qadhi di Ray kerana itulah dia dinisbahkan dengan ar-Razi. Kuniahnya ialah Abu Abdillah. Dia terkenal sebagai sejarawan di zamannya selain dianggap sebagai salah seorang perawi penting Maghazi Ibnu Ishaq. Pandangan ulama’ hadis dan rijal terhadapnya dapat dilihat melalui nukilan Imam Zahabi. Beliau menulis, “………Ishaq bin Rahawaih berkata, “Dia seorang dhaif.” Bukhari berkata, “Sesetengah hadisnya mungkar.” Imam Nasa’i berkata, “Dia seorang dhaif.” Ali Ibnu Madini menceritakan, “Setelah kami pulang dari Ray, riwayat-riwayat yang pernah kami dengar dari Salamah kami buangkan dengan anggapan ia adalah karut dan dusta.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Salamah al-Abrasy ar-Razi adalah seorang Syiah.” Abu Hatim ar-Razi berkata, “Dia tidak boleh dijadikan hujjah.” Abu Zur’ah ar-Razi berkata, “Penduduk Ray sama sekali tidak suka kepadanya, lantaran fahamannya yang salah. Sebagai seorang qadhi, beliau selalu berlaku zalim terhadap orang ramai meskipun dia bersembahyang dengan khusyuk’. Sebelum menjadi qadhi beliau mengajar kanak-kanak dan beliau meningggal dunia pada tahun 191 H.” (Mizanu al-I’tidal jilid 2 m.s. 12, Tahzibu al-Kamal jilid 3 m.s. 252-253)
Ibnu Ishaq mendakwa riwayat ini diambilnya dari Saleh Bin Kaisan. Siapakah Saleh Bin Kaisan itu? Beliau ialah seorang tabi’i kecil dan tsiqah (perawi yang boleh dipercayai) tetapi beliau lahir selepas 70H dan meninggal dunia pada tahun 140H. Dia lebih tua sedikit dari Muhammad Bin Ishaq sedangkan peristiwa peperangan Uhud telah berlaku 70 tahun sebelum kelahirannya. Siapakah pula yang menceritakannya kepada Saleh? Tentu sekali beliau bukan merupakan penyaksi peristiwa itu dengan mata kepala sendiri. Sudah tentu sekurang-kurangnya seorang yang ‘ghaib’ dalam isnad ini menjadikannya riwayat munqati’. Sepertimana dimaklumi riwayat munqati’ tidak boleh diterima (sebagai hujah).
Sebenarnya Saleh Bin Kaisan tidak pun meriwayatkan kisah ini. Ibnu Ishaq sahaja yang mengaitkannya dengan Saleh. Selain dari Ibnu Ishaq, tidak ada sesiapapun mengambil cerita ini baik dari Saleh Bin Kaisan atau orang lain sepanjang pengetahuan sejarah. Di antara sekian ramai anak murid Ibnu Ishaq pula, tidak ada yang meriwayatkan cerita ini darinya selain Salamah al-Abrasy. Kemudian tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dari Salamah al-Abrasy selain Muhammad Bin Humaid ar-Razi. Seterusnya tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dari Muhammad bin Humaid ar-Razi selain dari Ibnu Jarir at-Thabari.
Thabari meninggal dunia pada tahun 310H. Ini bermakna dari tahun 70H hingga tahun 310H, di setiap peringkat hanya ada seorang sahaja yang meriwayatkan kisah ini, seolah-olah ia suatu perkara yang sulit dan perlu dirahsiakan. Ia hanya boleh diterima dari setiap generasi, seorang sahaja!
Sekiranya peristiwa ini benar-benar berlaku dan ia mempunyai saksi yang melihatnya dengan mata kepala, tentu sekali ia tersebar lebih awal dari itu dan sepatutnya perawi-perawi cerita ini semakin ramai dari satu generasi ke generasi selepas itu. Terbuktilah bahawa kisah ini tidak popular kecuali setelah masyarakat Islam menerima apa sahaja riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Ishaq dan at-Thabari dengan membuta tuli. Kisah ini sebetulnya tidak diketahui oleh sesiapa pun sebelum tahun 70H.
PENILAIAN LOGIK
Dari segi Logiknya, bagaimana Ibnu Ishak hanya nampak Hindun sahaja melakukan perbuatan keji ini dan menuding jari kepadanya sedangkan ramai lagi perempuan-perempuan lain yang turut serta dalam peperangan Uhud selain Hindun seperti Ummu Hakim binti al-Harits Bin Hisyam, Barzah (isteri kepada Safwan bin Umayyah), Barrah binti Mas’ud bin Amar bin Umair as-Saqafiyyah (ibu kepada Abdullah Bin Safwan), Buraithah binti Munabbih bin al-Hajjaj (isteri kepada Amar bin al-’As dan ibu kepada Abdullah bin Amar bin al-As). Sulafah binti Saad, Khunas binti Malik dan Amrah binti Alqamah dan lain-lain lagi. Dalam kesibukan perang dan hingar bingar kedua-dua pasukan yang berperang itu, bagaimana kelihatan kepada Ibnu Ishaq Hindun sedang memakan hati Hamzah dan menjadikan telinga, hidung dan lain-lain anggota Hamzah sebagai gelang kakinya di samping menghadiahkan pula kalung dan subangnya kepada Wahsyi yang telah mensyahidkan Hamzah.
Untuk mengetahui semua tindakan Hindun dengan sah dan tepat, seolah-olahnya Ibnu Ishaq telah mengutus wartawan-wartawan dan juru-juru kamera yang tidak terbabit langsung dalam peperangan, tugas mereka hanyalah menyaksikan dan merakamkan apa yang berlaku dalam peperangan itu lalu melaporkannya kepada Ibnu Ishaq dan menyerahkan pula gambar-gambar sebagai bukti sokongan kepada apa-apa yang disampaikan oleh mereka itu. Untuk mendapat kepastian sedemikian rupa semestinya Ibnu Ishaq dibantu oleh orang-orang tadi. Ini kerana tidak pula orang-orang yang ikut serta secara langsung sama ada dari kalangan orang-orang Islam atau mereka yang ada di pihak orang-orang kafir tetapi kemudiannya memeluk Islam menceritakan sepertimana yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq.
Perempuan-perempuan yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq telah bersama-sama dengan Hindun melakukan mutslah (memotong-motong anggota orang yang telah mati dengan maksud melepaskan geram dan dendam) juga tidak menceritakan seperti mana yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq itu. Maka bagaimana kita akan menerima riwayat yang melaporkan kisah tersebut menerusi Saleh Bin Kaisan yang lahir setelah lebih 70 tahun berlakunya peristiwa ini dan mengenepikan pula saksi-saksi mata kepala yang turut serta dalam peperangan ini sama ada dari kalangan orang-orang Islam atau dari kalangan orang-orang kafir.
Wahsyi yang diketahui dan diterima oleh semua sebagai pembunuh Sayyidina Hamzah kemudiannya telah memeluk agama Islam. Jubair bin Muth’im tuan kepada Wahsyi kemudiannya juga memeluk agama Islam. Hindun binti Utbah, isteri Abu Suffian, ibu kepada Sayyidina Muawiyah yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq telah memakan hati Hamzah, kemudiannya juga telah memeluk agama Islam. Semua mereka ini tidak ada pun menceritakan apa yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq pada hal merekalah orang-orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa ini dan paling patut dirujuk dan diselidiki penjelasan mereka.
SIKAP IMAM BUKHARI
Imam Bukhari jauh berbeza dari Ibnu Ishaq kerana meriwayatkan kisah pembunuhan Sayyidina Hamzah melalui pembunuhnya sendiri bukan melalui orang yang lahir 70 tahun selepas peristiwa itu berlaku. Menurut metod ilmu riwayat, riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari lebih wajar diterima kerana beliau mengambil dari orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa itu. Mari kita perhatikan riwayat Imam Bukhari dalam Sahihnya berhubung peristiwa itu.
RIWAYAT IMAM BUKHARI
Imam Bukhari menukilkan dari Ja’far bin Amar bin Umaiyyah ad-Dhamri dia berkata, “Saya telah berangkat untuk satu perjalanan dengan Ubaidullah bin Adiy bin al-Khiyar. Bila kami sampai di Hims, Ubaidullah bin Adi bertanya kepada saya, “Mahukah engkau berjumpa dengan Wahsyi? Boleh kita tanya kepadanya tentang pembunuhan Sayyidina Hamzah.” Saya berkata, “Tentu sekali.”
Pada hari-hari itu Wahsyi menetap di Hims. Kami bertanya seseorang, “Di mana rumah Wahsyi?” Orang itu menceritakan, “Itu dia Wahsyi sedang duduk di bawah naungan (bayang) rumahnya. Bila kami ternampak dia dalam rupanya yang gemuk dan tidak berambut itu tak ubah seperti sebuah gereba. Kami berdiri sejenak setelah sampai di hadapannya lalu kami memberi salam kepadanya. Beliau menjawab salam kami. Perawi berkata, “Ketika itu Ubaidullah bin Adi bin al-Khiyar menutup muka dan kepalanya dengan serban. Wahsyi tidak nampak apa-apa darinya melainkan dua mata dan kakinya sahaja.”
Ubaidullah pun bertanya Wahsyi, “Kamu kenalkah siapa saya?” Wahsyi mengangkat pandangannya ke arah Ubaiullah, kemudian dia berkata, “Demi Allah! Tidak! Ya, Cuma saya tahu bahawa Adi bin al-Khiyar telah berkahwin dengan seorang perempuan dipanggil Ummul Qital binti Abi al-‘Is. Dengannya Adi bin al-Khiyar telah mendapat seorang anak lelaki. Sayalah yang telah mencari seorang pengasuh untuk anaknya itu dan saya dengan ibunya membawakan anak itu untuk diserahkan kepada pengasuh tersebut. Sekarang saya sedang memerhatikan kaki awak. Saya rasa engkaulah anak itu.” Ubaidullah pun mengalihkan kain dari mukanya. Dia bertanya Wahsyi, “Bolehkah kamu ceritakan kepada kami tentang pembunuhan Hamzah?” Wahsyi menjawab, “Ya, tentu boleh. Ceritanya begini: Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin Adi bin al-Khiyar dalam peperangan Badar. Tuan saya Jubair bin Mut’im berkata kepada saya, “Kalau engkau dapat membunuh Hamzah, engkau merdeka.”
Bila saya keluar untuk berperang pada tahun ‘Ainain’ (Ainain ialah salah satu bukit di Uhud, di hadapannya terletak Wadi Uhud), saya juga keluar bersama orang lain untuk berperang. Bila masing-masing pasukan telah membetulkan saf, maka Siba’ bin Abdul Uzza pun tampil kehadapan seraya berkata, “Adakah sesiapa yang akan berlawan?” Wahsyi menceritakan, “Dari kalangan pihak lawan, Hamzah bin Abdul Muthalib tampil ke hadapan seraya berkata, “Oh Siba’! Oh anak Ummu Anmar! Mudim anak-anak perempuan, adakah engkau memerangi Allah dan Rasulnya?” Kemudian dengan pantas Hamzah menyerang lalu dia (Siba’
menjadi seperti kelmarin yang telah berlalu (terus mati). Wahsyi berkata, “Saya ketika itu bersembunyi di sebalik satu batu besar sambil mengintai-intai Hamzah. Bila dia lalu dekat saya, terus saya membaling lembing saya ke arahnya. Lembing itu mengenai bahagian pusatnya lalu menembusi belakangnya. Itulah pertemuan saya yang terakhir dengannya. Bila semua orang pulang dari medan perang, saya juga pulang bersama mereka dan terus menetap di Mekah (selepas merdeka) sehingga Islam tersebar di sana, kemudian saya pun keluar ke Ta’if.”
Bila orang Ta’if menghantarkan utusan-utusan kepada Rasulullah s.a.w. maka ada orang berkata kepada saya, “Nabi tidak mengganggu utusan,” kerana itu saya pun menyertai golongan utusan itu untuk mengadap Nabi s.a.w. Bila Nabi s.a.w. melihat saya, Baginda pun bertanya, “Adakah engkau Wahsyi?” Saya menjawab, “Ya.” Baginda s.a.w. bertanya lagi, “Engkaukah yang telah membunuh Hamzah?” Saya menjawab, “Berita yang sampai kepada tuan itu adalah benar.” Nabi s.a.w. pun bersabda, “Bolehkah engkau sembunyikan mukamu dari pandanganku?” Wahsyi berkata, “Aku pun pergi dari situ.”
Selepas kewafatan Rasulullah s.a.w., Musailamah al-Kazzab memberontak. Saya berfikir dalam hati saya bahawa seharusnya saya keluar untuk menentang Musailamah. Boleh jadi saya akan dapat membunuhnya dengan itu terbalaslah (terbayarlah) pembunuhan Hamzah oleh saya. Setelah terfikir begitu saya pun keluar bersama orang ramai untuk berperang. Tiba-tiba (dalam peperangan) saya ternampak seorang sedang berdiri di celah tembok. Dia kelihatan seperti unta yang kehitaman warnanya. Rambutnya berselerak. Saya lepaskan lembing saya ke arahnya dan tepat mengenai dadanya sehingga menembusi belakangnya. Selepas itu tampil seorang Ansar Madinah lalu menetak kepalanya. Abdullah Bin al-Fadhl menceritakan bahawa Sulaiman bin Yasr menceritakan kepada saya bahawa beliau mendengar Ibnu Umar berkata, “Seorang perempuan yang ketika itu berdiri di atas bumbung rumah lantas berteriak mengatakan, “Demi Amirul Mukminin (Musailamah al-Kazzab)! Dia telah dibunuh oleh budak Habsyi.” (Lihat Sahih Bukhari jilid 2 m.s. 583)
Demikianlah kedudukan sebenar kisah ini mengikut cerita dari mulut pembunuh Sayyidina Hamzah sendiri. Dari riwayat ini dapat disimpulkan beberapa perkara seperti berikut;
1. Wahsyi adalah hamba kepada Jubair bin Muth’im. Jubair bin Muth’imlah yang mendorongnya membunuh Hamzah dengan janji akan memerdekakannya jika dia berjaya membunuh Hamzah. Di dalam riwayat ini tidak ada isyarat pun tentang campurtangan Hindun dalam pembunuhan Hamzah. Bukan Hindun yang mendorong Wahsyi supaya membunuh Hamzah, bukan juga Hindun yang dapat memerdekakan Wahsyi kerana Wahsyi bukan hambanya, malah dalam riwayat Ibnu Ishaq sendiri pun Wahsyi adalah hamba Jubair bin Muth’im.
2. Di dalam riwayat ini juga tidak tersebut Hindun memberikan gelang kaki, kalung dan subangnya kepada Wahsyi kerana kejayaannya membunuh Hamzah. Bahkan Wahsyi tidak mendapat apa-apa hadiah dari sesiapa pun selain dari hadiah kemerdekaan yang dijanjikan tuannya Jubair bin Muth’im. Sekiranya ada, maka tidak ada sebab kenapa Wahsyi menyembunyikannya.
3. Wahsyi ikut serta dalam peperangan Uhud dari awal hingga akhir di pihak orang-orang kafir Quraisy dan akhir sekali beliau pulang ke rumah bersama orang-orang lain. Di dalam riwayat Bukhari ini beliau tidak menyebutkan cerita perempuan-perempuan membuat kalung dari anggota orang-orang Islam yang syahid yang telah dipotong oleh mereka. Tidak ada juga beliau menyebutkan kisah sesiapa memakan hati sesiapa. Jika diandaikan beliau tidak melihat apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Quraisy terhadap orang-orang Islam yang mati syahid dalam peperangan Uhud itu terutamanya Hindun sekalipun tetap berkemungkinan juga beliau mendengar cerita itu di Mekah setelah pulang tetapi tiadanya cerita Wahsyi ini daripada perbuatan-perbuatan perempuan tersebut menunjukkan bahawa semua itu tidak benar.
4. Kerana Wahsyi telah membunuh Hamzah yang begitu disayangi oleh Rasulullah s.a.w., Nabi s.a.w. meminta beliau supaya tidak bersemuka dengannya. Tetapi Jubair bin Muth’im, pada ketika pembukaan Mekah tidak pula diminta oleh Rasulullah s.a.w. supaya tidak bersemuka dengannya seperti Wahsyi. Apa yang dilakukan oleh Hindun, jika benar seperti yang didakwa oleh Ibnu Ishaq, bahawa Hindun telah membelah perut Hamzah dan mengunyah hatinya – maka kelakuan itu lebih dahsyat daripada apa yang dilakukan oleh Wahsyi terhadap Hamzah, kerana sudah lumrah dalam peperangan seseorang membunuh pihak lawannya. Tetapi adalah sesuatu yang luar biasa seseorang membelah perut orang yang telah mati dalam peperangan lalu memotong hatinya untuk dikunyah atau dimakan. Sepatutnya Rasulullah s.a.w. juga tidak sanggup bersemuka dengan Hindun sama seperti Wahsyi tetapi sebaliknya apabila Nabi s.a.w. menakluk Mekah, di samping Baginda s.a.w. mengisytiharkan damai, Baginda s.a.w. juga telah mengisytiharkan nama-nama orang yang perlu dihukum bunuh.
Pada ketika itu Hindun tidak tersenarai dalam orang-orang yang perlu dihukum bunuh. Tidak juga Nabi s.a.w. menyatakan kebencian dan dendamnya kepada Hindun malah sebaliknya mengisytiharkan kepada umum bahawa sesiapa yang masuk ke dalam rumah Abi Sufyan (juga merupakan rumah Hindun) untuk menyelamatkan dirinya, dia terselamat dan mendapat keamanan. Pengisytiharan seperti ini membuktikan dengan sejelas-jelasnya bahawa Hindun atau Abu Sufyan tidak terlibat sama sekali dalam pembunuhan Sayidina Hamzah apa lagi untuk dikatakan beliau telah membelah perut Hamzah lalu memakan hatinya. Hindun seperti juga ramai orang-orang Quraisy yang lain telah memeluk agama Islam, selepas berbai’ah dengan Nabi s.a.w. dalam keadaan bersemuka dengan Nabi s.a.w., beliau secara terbuka menyatakan perasaannya setelah memeluk Islam terhadap Nabi s.a.w. Kata beliau, “Wahai Rasulullah! Dulu tidak ada manusia yang berkhemah di atas muka bumi ini lebih dipandang hina olehku darimu tetapi hari ini tidak ada orang yang berkhemah di muka bumi ini lebih ku kasihi darimu.”
Lihatlah bagaimana beliau menyatakan isihatinya terhadap Nabi s.a.w. dengan bersemuka dan lihatlah pula apa jawapan Nabi s.a.w. dan bagaimana Nabi s.a.w. menyambut kata-katanya itu. Dari kata-kata Nabi s.a.w. itu kiranya sirnalah segala tuduhan yang dilemparkan oleh musuh-musuh Islam terhadap Hindun, ibu mertua Nabi s.a.w., ibu kepada Ummu Habibah dan juga ibu kepada Sayyidina Mu’awiyah. Baginda s.a.w. lantas bersabda, “Ya, demikian juga aku. Demi Tuhan yang nyawaku berada ditanganNya.” (Lihat Sahih Bukhari jilid 1 m.s. 539)
Ini bermakna Nabi s.a.w. juga kasih kepada Hindun seperti mana Hindun mengasihinya. Malah untuk menyatakan kasihnya yang sungguh-sungguh itu, Baginda s.a.w. bersumpah dengan Tuhan yang nyawanya berada ditanganNya.
5. Daripada dua riwayat berlainan kandungannya yang dikemukakan oleh dua orang tokoh, Ibnu Ishaq dan Imam Bukhari, tergambar dengan jelas aliran pemikiran dan aqidah masing-masing. Yang pertama berfahaman Syi’ah yang sememangnya membenci para sahabat dan memusuhi mereka sementara yang kedua pula mengasihi sahabat seperti Rasulullah s.a.w. sendiri mengasihi mereka.
6. Ibnu Ishaq mendakwa mendapat cerita yang dikemukakannya dari Saleh bin Kaisan yang lahir 70 tahun selepas peristiwa peperangan Uhud itu berlaku. Imam Bukhari pula menerima riwayat yang dikemukakannya dengan sanad yang bersambung-sambung dan tidak terputus. Perawi-perawinya terdiri dari orang-orang yang kuat dengan isnad yang kuat dan tidak terputus-putus. Imam Bukhari mengambil riwayat tentang pembunuhan Hamzah dari pembunuhnya sendiri iaitu Wahsyi. Siapakah yang lebih boleh dipercayai? Seorang yang mengambil riwayat dari orang yang lahir 70 tahun selepas kejadian atau orang yang meriwayatkan sesuatu peristiwa dari orang yang menyaksikan sendiri peristiwa itu malah terlibat secara langsung dalam peristiwa itu?
7. Ibnu Ishaq dan kuncu-kuncunya sebenarnya mahu menanam rasa benci di dalam hati ummah terhadap Sayyidina Muawiyyah yang telah memusnahkan pergerakan musuh Islam selama pemerintahannya 20 tahun sebagai Gabenor dan 20 tahun sebagai Khalifah. Dia seolah-olahnya menghujah para pembaca riwayatnya dengan cerita yang dikemukakan itu, iaitu Sayyidina Muawiyah adalah seseorang yang jahat, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Kejahatan dan kekejaman itu bukanlah suatu yang baru bahkan ia adalah suatu yang turun temurun diwarisinya dari ibunya yang telah sanggup membelah perut Hamzah dan mengunyah hatinya, juga diwarisi dari ayahnya yang merupakan kepala kafir Quraisy dalam peperangan Uhud itu. Inilah sebenarnya motif yang telah melahirkan cerita ini ke alam nyata.
8. Ibnu Ishaq sebetulnya mahu mencabar fikiran ummah dengan suatu alasan di sebalik cerita yang dipersembahkan itu. Bahawa jika Wahsyi yang telah melakukan suatu perkara yang lumrah berlaku dalam sesuatu peperangan pun diminta oleh Nabi s.a.w. supaya tidak menunjukkan mukanya kepada Baginda s.a.w., bagaimanakah pula dengan orang yang telah membelah perut Sayyidina Hamzah lalu mengunyah hatinya? Adakah mungkin Rasulullah s.a.w. dapat menerima orang seperti itu? Kalau pun orang itu kemudiannya memeluk agama Islam dan berbai’ah dengan Nabi s.a.w., tetap juga ada kemungkinan bahawa Nabi s.a.w. menerima keislamannya secara taqiyyah!
Imam Bukhari mengemukakan hadis, “Hindun menyatakan isihatinya kepada Rasulullah s.a.w. secara terbuka dan bersemuka dengan Rasulullah s.a.w. seperti disebutkan tadi di bawah bab ‘Kelebihan Hindun Binti Utbah’. Apa yang Imam Bukhari mahu abadikan melalui bab ini ialah Hindun bukan sahaja telah diterima keislamannya, bahkan beliau mempunyai kelebihan dan keistimewaannya tersendiri. Apa yang dapat difahami secara mudah ialah sekurang-kurangnya beliau merupakan mertua kepada Nabi s.a.w. dan ibu kepada Amirul Mukminin Sayyidina Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Itu sahaja pun bagi umat Islam bukan alang kepalang keistimewaannya.
Sebuah kisah yang boleh dikatakan tiada sebuah buku sirah pun yang ditulis kemudian tidak menyebutkannya ialah kisah Hindun memamah, mengunyah atau memakan hati Sayyidina Hamzah semasa atau selepas peperangan Uhud.
Kisah ini adalah ciptaan dan rekaan Ibnu Ishaq. Dialah orang yang mula-mula sekali di dalam dunia ini yang mengemukakan kisah tersebut. Kemudian at-Thabari menyebarkannya tetapi melalui jalan riwayat Ibnu Ishaq. Ringkasnya Ibnu Ishaqlah merupakan satu-satunya paksi dalam meriwayatkan kisah ini.
Ibnu Ishaq berkata, “Mengikut cerita yang sampai kepada saya menerusi Saleh bin Kaisan, Hindun Binti Utbah dan perempuan-perempuan lain bersamanya melakukan ‘mutslah’ terhadap sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang terbunuh.
Mereka memotong telinga-telinga dan hidung-hidung (sahabat-sahabat yang terbunuh itu) sehingga Hindun menyucuk telinga-telinga dan hidung-hidung orang-orang yang terbunuh itu untuk dijadikan sebagai gelang kaki dan kalung-kalung. Dia memberikan gelang kaki, kalung dan subangnya (anting-anting) kepada Wahsyi, hamba Jubair Bin Muth’im. Dia membelah perut Hamzah dan mengambil hatinya lalu dikunyahnya tetapi tidak dapat ditelannya kerana itu dia memuntahkannya keluar.”(Lihat Sirah Ibnu Ishak m.s. 385, Sirah Ibn Hisyam jilid 3 m.s. 36)
Ibnu Jarir at-Thabari pula meriwayatkan dari Muhammad Bin Humaid, dia mengambil cerita ini dari Salamah Al Abrasy. Salamah pula mengambil dari Ibnu Ishaq. Ibnu Ishaq mengatakan, “Saleh Bin Kaisan menceritakan kepadanya…” (Lihat Tarikh al-Umam Wa al-Muluk-at-Thabari jilid 2 m.s. 204)
Salah seorang yang tersebut dalam isnad ini ialah Muhammad Bin Humaid ar-Razi. Beliau ialah penduduk Ray. Dia selalu menukilkan riwayat dari Ya’kub al-Qummi (seorang penulis kitab-kitab Syiah dan selainnya).
Ya’kub bin Syaibah berkata, “Dia selalu mengemukakan riwayat-riwayat yang sangat mungkar.” Imam Bukhari berkata, “Kedudukannya dipertikaikan.” Abu Zura’ah ar-Razi seorang alim senegeri dengannya berkata, “Dia seorang pendusta besar.” Fadlak ar-Razi juga seorang alim senegeri dengannya berkata, “Saya mempunyai 50,000 riwayat Muhammad bin Hummaid ar-Razi tetapi satupun darinya tidak saya kemukakan kepada orang ramai.”
Pernah Ibnu Kharasy mengemukakan riwayat Muhammad bin Humaid lantas dia berkata, “Demi Allah! Dia berbohong.” Ulama’ hadis yang lain berkata bahawa dia selalu mengambil hadis-hadis orang-orang tertentu kemudian menisbahkannya kepada orang lain. Imam Nasa’i berkata, “Dia seorang yang lemah.” Saleh Jazarah berkata, “Tidak pernah saya lihat dalam hidup saya seorang yang lebih mahir berbohong dari dua orang iaitu pertama, Muhammad bin Humaid (ahli sejarah) dan kedua, Sulaiman as-Syazkumi.”
Imam Fadhlak ar-Razi pernah menceritakan bahawa, “Saya pernah pergi kepada Muhammad bin Humaid. Ketika itu dia sedang mereka sanad-sanad cerita-cerita palsu.” Imam Zahabi berkata, “Muridnya Muarrikh (sejarawan) at-Thabari telah menulis dengan penuh yakin bahawa Muhammad bin Humaid tidak ingat al-Quran.” Di akhir hayatnya hanya dua orang yang menerima riwayat-riwayat darinya iaitu:
1) Abul Qasim Baghawi
2) Muhammad bin Jarir at-Thabari
Ibnu Humaid meninggal dunia pada tahun 248 H – (Lihat Mizanu al-I’tidal jilid 3 halaman 530, Tahzibu al-Kamal jilid 6 m.s. 286-287).
Seorang lagi yang ada dalam isnad Ibnu Ishak ini ialah Salamah al-Abrasy yang nama penuhnya Salamah bin Fadhl. Dia terkenal dengan gelaran al-Abrasy. Pernah menjadi qadhi di Ray kerana itulah dia dinisbahkan dengan ar-Razi. Kuniahnya ialah Abu Abdillah. Dia terkenal sebagai sejarawan di zamannya selain dianggap sebagai salah seorang perawi penting Maghazi Ibnu Ishaq. Pandangan ulama’ hadis dan rijal terhadapnya dapat dilihat melalui nukilan Imam Zahabi. Beliau menulis, “………Ishaq bin Rahawaih berkata, “Dia seorang dhaif.” Bukhari berkata, “Sesetengah hadisnya mungkar.” Imam Nasa’i berkata, “Dia seorang dhaif.” Ali Ibnu Madini menceritakan, “Setelah kami pulang dari Ray, riwayat-riwayat yang pernah kami dengar dari Salamah kami buangkan dengan anggapan ia adalah karut dan dusta.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Salamah al-Abrasy ar-Razi adalah seorang Syiah.” Abu Hatim ar-Razi berkata, “Dia tidak boleh dijadikan hujjah.” Abu Zur’ah ar-Razi berkata, “Penduduk Ray sama sekali tidak suka kepadanya, lantaran fahamannya yang salah. Sebagai seorang qadhi, beliau selalu berlaku zalim terhadap orang ramai meskipun dia bersembahyang dengan khusyuk’. Sebelum menjadi qadhi beliau mengajar kanak-kanak dan beliau meningggal dunia pada tahun 191 H.” (Mizanu al-I’tidal jilid 2 m.s. 12, Tahzibu al-Kamal jilid 3 m.s. 252-253)
Ibnu Ishaq mendakwa riwayat ini diambilnya dari Saleh Bin Kaisan. Siapakah Saleh Bin Kaisan itu? Beliau ialah seorang tabi’i kecil dan tsiqah (perawi yang boleh dipercayai) tetapi beliau lahir selepas 70H dan meninggal dunia pada tahun 140H. Dia lebih tua sedikit dari Muhammad Bin Ishaq sedangkan peristiwa peperangan Uhud telah berlaku 70 tahun sebelum kelahirannya. Siapakah pula yang menceritakannya kepada Saleh? Tentu sekali beliau bukan merupakan penyaksi peristiwa itu dengan mata kepala sendiri. Sudah tentu sekurang-kurangnya seorang yang ‘ghaib’ dalam isnad ini menjadikannya riwayat munqati’. Sepertimana dimaklumi riwayat munqati’ tidak boleh diterima (sebagai hujah).
Sebenarnya Saleh Bin Kaisan tidak pun meriwayatkan kisah ini. Ibnu Ishaq sahaja yang mengaitkannya dengan Saleh. Selain dari Ibnu Ishaq, tidak ada sesiapapun mengambil cerita ini baik dari Saleh Bin Kaisan atau orang lain sepanjang pengetahuan sejarah. Di antara sekian ramai anak murid Ibnu Ishaq pula, tidak ada yang meriwayatkan cerita ini darinya selain Salamah al-Abrasy. Kemudian tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dari Salamah al-Abrasy selain Muhammad Bin Humaid ar-Razi. Seterusnya tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dari Muhammad bin Humaid ar-Razi selain dari Ibnu Jarir at-Thabari.
Thabari meninggal dunia pada tahun 310H. Ini bermakna dari tahun 70H hingga tahun 310H, di setiap peringkat hanya ada seorang sahaja yang meriwayatkan kisah ini, seolah-olah ia suatu perkara yang sulit dan perlu dirahsiakan. Ia hanya boleh diterima dari setiap generasi, seorang sahaja!
Sekiranya peristiwa ini benar-benar berlaku dan ia mempunyai saksi yang melihatnya dengan mata kepala, tentu sekali ia tersebar lebih awal dari itu dan sepatutnya perawi-perawi cerita ini semakin ramai dari satu generasi ke generasi selepas itu. Terbuktilah bahawa kisah ini tidak popular kecuali setelah masyarakat Islam menerima apa sahaja riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Ishaq dan at-Thabari dengan membuta tuli. Kisah ini sebetulnya tidak diketahui oleh sesiapa pun sebelum tahun 70H.
PENILAIAN LOGIK
Dari segi Logiknya, bagaimana Ibnu Ishak hanya nampak Hindun sahaja melakukan perbuatan keji ini dan menuding jari kepadanya sedangkan ramai lagi perempuan-perempuan lain yang turut serta dalam peperangan Uhud selain Hindun seperti Ummu Hakim binti al-Harits Bin Hisyam, Barzah (isteri kepada Safwan bin Umayyah), Barrah binti Mas’ud bin Amar bin Umair as-Saqafiyyah (ibu kepada Abdullah Bin Safwan), Buraithah binti Munabbih bin al-Hajjaj (isteri kepada Amar bin al-’As dan ibu kepada Abdullah bin Amar bin al-As). Sulafah binti Saad, Khunas binti Malik dan Amrah binti Alqamah dan lain-lain lagi. Dalam kesibukan perang dan hingar bingar kedua-dua pasukan yang berperang itu, bagaimana kelihatan kepada Ibnu Ishaq Hindun sedang memakan hati Hamzah dan menjadikan telinga, hidung dan lain-lain anggota Hamzah sebagai gelang kakinya di samping menghadiahkan pula kalung dan subangnya kepada Wahsyi yang telah mensyahidkan Hamzah.
Untuk mengetahui semua tindakan Hindun dengan sah dan tepat, seolah-olahnya Ibnu Ishaq telah mengutus wartawan-wartawan dan juru-juru kamera yang tidak terbabit langsung dalam peperangan, tugas mereka hanyalah menyaksikan dan merakamkan apa yang berlaku dalam peperangan itu lalu melaporkannya kepada Ibnu Ishaq dan menyerahkan pula gambar-gambar sebagai bukti sokongan kepada apa-apa yang disampaikan oleh mereka itu. Untuk mendapat kepastian sedemikian rupa semestinya Ibnu Ishaq dibantu oleh orang-orang tadi. Ini kerana tidak pula orang-orang yang ikut serta secara langsung sama ada dari kalangan orang-orang Islam atau mereka yang ada di pihak orang-orang kafir tetapi kemudiannya memeluk Islam menceritakan sepertimana yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq.
Perempuan-perempuan yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq telah bersama-sama dengan Hindun melakukan mutslah (memotong-motong anggota orang yang telah mati dengan maksud melepaskan geram dan dendam) juga tidak menceritakan seperti mana yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq itu. Maka bagaimana kita akan menerima riwayat yang melaporkan kisah tersebut menerusi Saleh Bin Kaisan yang lahir setelah lebih 70 tahun berlakunya peristiwa ini dan mengenepikan pula saksi-saksi mata kepala yang turut serta dalam peperangan ini sama ada dari kalangan orang-orang Islam atau dari kalangan orang-orang kafir.
Wahsyi yang diketahui dan diterima oleh semua sebagai pembunuh Sayyidina Hamzah kemudiannya telah memeluk agama Islam. Jubair bin Muth’im tuan kepada Wahsyi kemudiannya juga memeluk agama Islam. Hindun binti Utbah, isteri Abu Suffian, ibu kepada Sayyidina Muawiyah yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq telah memakan hati Hamzah, kemudiannya juga telah memeluk agama Islam. Semua mereka ini tidak ada pun menceritakan apa yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq pada hal merekalah orang-orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa ini dan paling patut dirujuk dan diselidiki penjelasan mereka.
SIKAP IMAM BUKHARI
Imam Bukhari jauh berbeza dari Ibnu Ishaq kerana meriwayatkan kisah pembunuhan Sayyidina Hamzah melalui pembunuhnya sendiri bukan melalui orang yang lahir 70 tahun selepas peristiwa itu berlaku. Menurut metod ilmu riwayat, riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari lebih wajar diterima kerana beliau mengambil dari orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa itu. Mari kita perhatikan riwayat Imam Bukhari dalam Sahihnya berhubung peristiwa itu.
RIWAYAT IMAM BUKHARI
Imam Bukhari menukilkan dari Ja’far bin Amar bin Umaiyyah ad-Dhamri dia berkata, “Saya telah berangkat untuk satu perjalanan dengan Ubaidullah bin Adiy bin al-Khiyar. Bila kami sampai di Hims, Ubaidullah bin Adi bertanya kepada saya, “Mahukah engkau berjumpa dengan Wahsyi? Boleh kita tanya kepadanya tentang pembunuhan Sayyidina Hamzah.” Saya berkata, “Tentu sekali.”
Pada hari-hari itu Wahsyi menetap di Hims. Kami bertanya seseorang, “Di mana rumah Wahsyi?” Orang itu menceritakan, “Itu dia Wahsyi sedang duduk di bawah naungan (bayang) rumahnya. Bila kami ternampak dia dalam rupanya yang gemuk dan tidak berambut itu tak ubah seperti sebuah gereba. Kami berdiri sejenak setelah sampai di hadapannya lalu kami memberi salam kepadanya. Beliau menjawab salam kami. Perawi berkata, “Ketika itu Ubaidullah bin Adi bin al-Khiyar menutup muka dan kepalanya dengan serban. Wahsyi tidak nampak apa-apa darinya melainkan dua mata dan kakinya sahaja.”
Ubaidullah pun bertanya Wahsyi, “Kamu kenalkah siapa saya?” Wahsyi mengangkat pandangannya ke arah Ubaiullah, kemudian dia berkata, “Demi Allah! Tidak! Ya, Cuma saya tahu bahawa Adi bin al-Khiyar telah berkahwin dengan seorang perempuan dipanggil Ummul Qital binti Abi al-‘Is. Dengannya Adi bin al-Khiyar telah mendapat seorang anak lelaki. Sayalah yang telah mencari seorang pengasuh untuk anaknya itu dan saya dengan ibunya membawakan anak itu untuk diserahkan kepada pengasuh tersebut. Sekarang saya sedang memerhatikan kaki awak. Saya rasa engkaulah anak itu.” Ubaidullah pun mengalihkan kain dari mukanya. Dia bertanya Wahsyi, “Bolehkah kamu ceritakan kepada kami tentang pembunuhan Hamzah?” Wahsyi menjawab, “Ya, tentu boleh. Ceritanya begini: Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin Adi bin al-Khiyar dalam peperangan Badar. Tuan saya Jubair bin Mut’im berkata kepada saya, “Kalau engkau dapat membunuh Hamzah, engkau merdeka.”
Bila saya keluar untuk berperang pada tahun ‘Ainain’ (Ainain ialah salah satu bukit di Uhud, di hadapannya terletak Wadi Uhud), saya juga keluar bersama orang lain untuk berperang. Bila masing-masing pasukan telah membetulkan saf, maka Siba’ bin Abdul Uzza pun tampil kehadapan seraya berkata, “Adakah sesiapa yang akan berlawan?” Wahsyi menceritakan, “Dari kalangan pihak lawan, Hamzah bin Abdul Muthalib tampil ke hadapan seraya berkata, “Oh Siba’! Oh anak Ummu Anmar! Mudim anak-anak perempuan, adakah engkau memerangi Allah dan Rasulnya?” Kemudian dengan pantas Hamzah menyerang lalu dia (Siba’

Bila orang Ta’if menghantarkan utusan-utusan kepada Rasulullah s.a.w. maka ada orang berkata kepada saya, “Nabi tidak mengganggu utusan,” kerana itu saya pun menyertai golongan utusan itu untuk mengadap Nabi s.a.w. Bila Nabi s.a.w. melihat saya, Baginda pun bertanya, “Adakah engkau Wahsyi?” Saya menjawab, “Ya.” Baginda s.a.w. bertanya lagi, “Engkaukah yang telah membunuh Hamzah?” Saya menjawab, “Berita yang sampai kepada tuan itu adalah benar.” Nabi s.a.w. pun bersabda, “Bolehkah engkau sembunyikan mukamu dari pandanganku?” Wahsyi berkata, “Aku pun pergi dari situ.”
Selepas kewafatan Rasulullah s.a.w., Musailamah al-Kazzab memberontak. Saya berfikir dalam hati saya bahawa seharusnya saya keluar untuk menentang Musailamah. Boleh jadi saya akan dapat membunuhnya dengan itu terbalaslah (terbayarlah) pembunuhan Hamzah oleh saya. Setelah terfikir begitu saya pun keluar bersama orang ramai untuk berperang. Tiba-tiba (dalam peperangan) saya ternampak seorang sedang berdiri di celah tembok. Dia kelihatan seperti unta yang kehitaman warnanya. Rambutnya berselerak. Saya lepaskan lembing saya ke arahnya dan tepat mengenai dadanya sehingga menembusi belakangnya. Selepas itu tampil seorang Ansar Madinah lalu menetak kepalanya. Abdullah Bin al-Fadhl menceritakan bahawa Sulaiman bin Yasr menceritakan kepada saya bahawa beliau mendengar Ibnu Umar berkata, “Seorang perempuan yang ketika itu berdiri di atas bumbung rumah lantas berteriak mengatakan, “Demi Amirul Mukminin (Musailamah al-Kazzab)! Dia telah dibunuh oleh budak Habsyi.” (Lihat Sahih Bukhari jilid 2 m.s. 583)
Demikianlah kedudukan sebenar kisah ini mengikut cerita dari mulut pembunuh Sayyidina Hamzah sendiri. Dari riwayat ini dapat disimpulkan beberapa perkara seperti berikut;
1. Wahsyi adalah hamba kepada Jubair bin Muth’im. Jubair bin Muth’imlah yang mendorongnya membunuh Hamzah dengan janji akan memerdekakannya jika dia berjaya membunuh Hamzah. Di dalam riwayat ini tidak ada isyarat pun tentang campurtangan Hindun dalam pembunuhan Hamzah. Bukan Hindun yang mendorong Wahsyi supaya membunuh Hamzah, bukan juga Hindun yang dapat memerdekakan Wahsyi kerana Wahsyi bukan hambanya, malah dalam riwayat Ibnu Ishaq sendiri pun Wahsyi adalah hamba Jubair bin Muth’im.
2. Di dalam riwayat ini juga tidak tersebut Hindun memberikan gelang kaki, kalung dan subangnya kepada Wahsyi kerana kejayaannya membunuh Hamzah. Bahkan Wahsyi tidak mendapat apa-apa hadiah dari sesiapa pun selain dari hadiah kemerdekaan yang dijanjikan tuannya Jubair bin Muth’im. Sekiranya ada, maka tidak ada sebab kenapa Wahsyi menyembunyikannya.
3. Wahsyi ikut serta dalam peperangan Uhud dari awal hingga akhir di pihak orang-orang kafir Quraisy dan akhir sekali beliau pulang ke rumah bersama orang-orang lain. Di dalam riwayat Bukhari ini beliau tidak menyebutkan cerita perempuan-perempuan membuat kalung dari anggota orang-orang Islam yang syahid yang telah dipotong oleh mereka. Tidak ada juga beliau menyebutkan kisah sesiapa memakan hati sesiapa. Jika diandaikan beliau tidak melihat apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Quraisy terhadap orang-orang Islam yang mati syahid dalam peperangan Uhud itu terutamanya Hindun sekalipun tetap berkemungkinan juga beliau mendengar cerita itu di Mekah setelah pulang tetapi tiadanya cerita Wahsyi ini daripada perbuatan-perbuatan perempuan tersebut menunjukkan bahawa semua itu tidak benar.
4. Kerana Wahsyi telah membunuh Hamzah yang begitu disayangi oleh Rasulullah s.a.w., Nabi s.a.w. meminta beliau supaya tidak bersemuka dengannya. Tetapi Jubair bin Muth’im, pada ketika pembukaan Mekah tidak pula diminta oleh Rasulullah s.a.w. supaya tidak bersemuka dengannya seperti Wahsyi. Apa yang dilakukan oleh Hindun, jika benar seperti yang didakwa oleh Ibnu Ishaq, bahawa Hindun telah membelah perut Hamzah dan mengunyah hatinya – maka kelakuan itu lebih dahsyat daripada apa yang dilakukan oleh Wahsyi terhadap Hamzah, kerana sudah lumrah dalam peperangan seseorang membunuh pihak lawannya. Tetapi adalah sesuatu yang luar biasa seseorang membelah perut orang yang telah mati dalam peperangan lalu memotong hatinya untuk dikunyah atau dimakan. Sepatutnya Rasulullah s.a.w. juga tidak sanggup bersemuka dengan Hindun sama seperti Wahsyi tetapi sebaliknya apabila Nabi s.a.w. menakluk Mekah, di samping Baginda s.a.w. mengisytiharkan damai, Baginda s.a.w. juga telah mengisytiharkan nama-nama orang yang perlu dihukum bunuh.
Pada ketika itu Hindun tidak tersenarai dalam orang-orang yang perlu dihukum bunuh. Tidak juga Nabi s.a.w. menyatakan kebencian dan dendamnya kepada Hindun malah sebaliknya mengisytiharkan kepada umum bahawa sesiapa yang masuk ke dalam rumah Abi Sufyan (juga merupakan rumah Hindun) untuk menyelamatkan dirinya, dia terselamat dan mendapat keamanan. Pengisytiharan seperti ini membuktikan dengan sejelas-jelasnya bahawa Hindun atau Abu Sufyan tidak terlibat sama sekali dalam pembunuhan Sayidina Hamzah apa lagi untuk dikatakan beliau telah membelah perut Hamzah lalu memakan hatinya. Hindun seperti juga ramai orang-orang Quraisy yang lain telah memeluk agama Islam, selepas berbai’ah dengan Nabi s.a.w. dalam keadaan bersemuka dengan Nabi s.a.w., beliau secara terbuka menyatakan perasaannya setelah memeluk Islam terhadap Nabi s.a.w. Kata beliau, “Wahai Rasulullah! Dulu tidak ada manusia yang berkhemah di atas muka bumi ini lebih dipandang hina olehku darimu tetapi hari ini tidak ada orang yang berkhemah di muka bumi ini lebih ku kasihi darimu.”
Lihatlah bagaimana beliau menyatakan isihatinya terhadap Nabi s.a.w. dengan bersemuka dan lihatlah pula apa jawapan Nabi s.a.w. dan bagaimana Nabi s.a.w. menyambut kata-katanya itu. Dari kata-kata Nabi s.a.w. itu kiranya sirnalah segala tuduhan yang dilemparkan oleh musuh-musuh Islam terhadap Hindun, ibu mertua Nabi s.a.w., ibu kepada Ummu Habibah dan juga ibu kepada Sayyidina Mu’awiyah. Baginda s.a.w. lantas bersabda, “Ya, demikian juga aku. Demi Tuhan yang nyawaku berada ditanganNya.” (Lihat Sahih Bukhari jilid 1 m.s. 539)
Ini bermakna Nabi s.a.w. juga kasih kepada Hindun seperti mana Hindun mengasihinya. Malah untuk menyatakan kasihnya yang sungguh-sungguh itu, Baginda s.a.w. bersumpah dengan Tuhan yang nyawanya berada ditanganNya.
5. Daripada dua riwayat berlainan kandungannya yang dikemukakan oleh dua orang tokoh, Ibnu Ishaq dan Imam Bukhari, tergambar dengan jelas aliran pemikiran dan aqidah masing-masing. Yang pertama berfahaman Syi’ah yang sememangnya membenci para sahabat dan memusuhi mereka sementara yang kedua pula mengasihi sahabat seperti Rasulullah s.a.w. sendiri mengasihi mereka.
6. Ibnu Ishaq mendakwa mendapat cerita yang dikemukakannya dari Saleh bin Kaisan yang lahir 70 tahun selepas peristiwa peperangan Uhud itu berlaku. Imam Bukhari pula menerima riwayat yang dikemukakannya dengan sanad yang bersambung-sambung dan tidak terputus. Perawi-perawinya terdiri dari orang-orang yang kuat dengan isnad yang kuat dan tidak terputus-putus. Imam Bukhari mengambil riwayat tentang pembunuhan Hamzah dari pembunuhnya sendiri iaitu Wahsyi. Siapakah yang lebih boleh dipercayai? Seorang yang mengambil riwayat dari orang yang lahir 70 tahun selepas kejadian atau orang yang meriwayatkan sesuatu peristiwa dari orang yang menyaksikan sendiri peristiwa itu malah terlibat secara langsung dalam peristiwa itu?
7. Ibnu Ishaq dan kuncu-kuncunya sebenarnya mahu menanam rasa benci di dalam hati ummah terhadap Sayyidina Muawiyyah yang telah memusnahkan pergerakan musuh Islam selama pemerintahannya 20 tahun sebagai Gabenor dan 20 tahun sebagai Khalifah. Dia seolah-olahnya menghujah para pembaca riwayatnya dengan cerita yang dikemukakan itu, iaitu Sayyidina Muawiyah adalah seseorang yang jahat, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Kejahatan dan kekejaman itu bukanlah suatu yang baru bahkan ia adalah suatu yang turun temurun diwarisinya dari ibunya yang telah sanggup membelah perut Hamzah dan mengunyah hatinya, juga diwarisi dari ayahnya yang merupakan kepala kafir Quraisy dalam peperangan Uhud itu. Inilah sebenarnya motif yang telah melahirkan cerita ini ke alam nyata.
8. Ibnu Ishaq sebetulnya mahu mencabar fikiran ummah dengan suatu alasan di sebalik cerita yang dipersembahkan itu. Bahawa jika Wahsyi yang telah melakukan suatu perkara yang lumrah berlaku dalam sesuatu peperangan pun diminta oleh Nabi s.a.w. supaya tidak menunjukkan mukanya kepada Baginda s.a.w., bagaimanakah pula dengan orang yang telah membelah perut Sayyidina Hamzah lalu mengunyah hatinya? Adakah mungkin Rasulullah s.a.w. dapat menerima orang seperti itu? Kalau pun orang itu kemudiannya memeluk agama Islam dan berbai’ah dengan Nabi s.a.w., tetap juga ada kemungkinan bahawa Nabi s.a.w. menerima keislamannya secara taqiyyah!
Imam Bukhari mengemukakan hadis, “Hindun menyatakan isihatinya kepada Rasulullah s.a.w. secara terbuka dan bersemuka dengan Rasulullah s.a.w. seperti disebutkan tadi di bawah bab ‘Kelebihan Hindun Binti Utbah’. Apa yang Imam Bukhari mahu abadikan melalui bab ini ialah Hindun bukan sahaja telah diterima keislamannya, bahkan beliau mempunyai kelebihan dan keistimewaannya tersendiri. Apa yang dapat difahami secara mudah ialah sekurang-kurangnya beliau merupakan mertua kepada Nabi s.a.w. dan ibu kepada Amirul Mukminin Sayyidina Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Itu sahaja pun bagi umat Islam bukan alang kepalang keistimewaannya.
Rabu, 13 April 2011
Benarkah Sayidina Umar Membunuh Anaknya
oleh Maulana Muhammad Asri Yusoff
Terdapat beberapa buah buku yang tersebar meluas dalam masyarakat yang menceritakan kisah Sayyidina Umar r.a. kononnya telah membunuh seorang anak perempuan dan menanamnya hidup-hidup, seperti sebuah buku berjudul “Sepuluh Sahabat Dijamin Ahli Syurga” oleh Muhammad Ali Quthub, terbitan Pustaka Nasional Pte. Ltd (1984), m.s. 50-51.
Dua artikel berkenaan cerita ini telah disiarkan dalam akhbar Harakah. Satunya disiarkan sebagai bahan bacaan untuk kanak-kanak di ruangan BESTARI (Harakah, 18 Disember 1998) dan satu lagi artikel hasil penyelidikan satu kumpulan yang memakai nama ILHAM ( Harakah, 30 Nov 1998) . Kedua-duanya mengandungi cerita yang sama dengan sedikit perbezaan ibaratnya.
Jika cerita seperti itu disiarkan oleh musuh Islam, tentu sekali tiada maksud lain bagi mereka melainkan untuk memburuk-burukkan imej Sayyidina Umar r.a. yang merupakan sahabat karib Rasulullah s.a.w. dan khalifah agung umat Islam.
Jika cerita seperti ini disebarkan oleh mereka dari kalangan Ahli Sunnah wal-Jamaah, pada pandangan penulis, ada dua kemungkinan yang mendorong mereka untuk menyebarkannya.
Pertama, kerana jahil dan kedua, adalah kerana menganggap kisah ini berlaku sewaktu Sayyidina Umar r.a. berada di zaman jahiliah.
Apa yang peliknya andaikata semasa zaman jahiliah itu, Sayyidina Umar r.a. telah melakukan demikian! Selain dari itu bukankah ini menunjukkan kehebatan Islam dengan kemampuannya yang luar biasa dalam mengubah dan membentuk peribadi manusia sehingga manusia yang sekejam Sayyidina Umar r.a. itu pun telah menjadi sebaik-baik manusia malah pemimpin Islam contoh untuk umat Islam kemudian apabila memeluk Islam?
Bagi penulis, tidak timbul soal kehebatan Islam dalam mengubah kehidupan manusia kerana telah pun terbukti melalui banyak riwayat-riwayat yang sahih tetapi bagaimana dengan cerita kekejaman Sayyidina Umar r.a. ini? Apakah kedudukannya? Adakah ia memang berasas atau hanya dongeng dan cerita rekaan semata-mata?
Alangkah berguna kepada para pembaca sekiranya penulis-penulis buku dan artikel-artikel ini mengemukakan tempat rujukan kisah ini supaya amanah ilmiah yang mereka bawakan kepada orang ramai itu disampaikan dengan penuh tanggungjawab.
Kisah ini tidak akan dapat ditemui dan dikesan walaupun bayangnya di dalam kitab-kitab hadis atau kitab-kitab sejarah yang muktabar! Tentu sekali ianya direka oleh musuh Islam tetapi sungguh malang sekali apabila kita sebagai umat Islam menerima apa saja yang disogokkan dalam cerita atau kisah-kisah sahabat padahal Rasulullah s.a.w. telah pun bersabda yang bermaksud, “Cukuplah seseorang itu menjadi pendusta apabila ia menceritakan apa sahaja yang didengarnya.” ( Hadis Riwayat Muslim)
Tujuan penulis mengkaji semula dan membetulkan artikel-artikel ini tidak lain adalah untuk memelihara kesucian sejarah hidup Rasulullah s.a.w. Juga untuk memberi peringatan kepada umat Islam umumnya, pendakwah-pendakwah, penulis-penulis dan guru-guru agama khususnya supaya berhati-hati apabila membawa sesuatu kisah berhubung dengan Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabat baginda s.a.w. kerana mereka adalah cermin agama Islam.
Supaya lebih jelas kepada para pembaca, penulis putarkan kembali bahagian terpenting daripada kisah Sayyidina Umar r.a. menanam hidup-hidup anak perempuannya (sebagaimana yang disebarkan dalam akhbar sebagaimana di atas).
Begini ceritanya…..
“…Umar memejamkan mata. Anak itu ditendangnya masuk ke dalam lubang yang digalinya. Ia menangis. Umar tidak menghiraukannya….Umar menutupkan mata dan terfikir, “ Oh! Anakku yang manis dan pintar. Mengapa kau dilahirkan sebagai perempuan?” Ia menangis. Tangannya gementar, tubuhnya menggigil. “ Umar, jangan jadi pengecut,” Tiba-tiba suara itu terdengar berulang kali ditelinganya. Lalu sambil menahan kesedihannya, Umar meneruskan lagi menimbun pasir ke lubang tadi, sehinggalah anaknya itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kisah ini selain tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih dan muktabar, ia juga bercanggah dengan kaedah dirayah yang dipakai oleh ulamak Islam dalam menilai sesuatu cerita.
Di antara alasan yang boleh dikemukakan ialah:
1) Tidak ada satu pun riwayat yang boleh dipertanggungjawabkan membuktikan seorang pun daripada kabilah Quraisy menanam anaknya hidup-hidup, apatah lagi untuk membuktikan Sayyidina Umar r.a membunuh anak perempuannya.
2) Adat menanam anak perempuan hidup-hidup berlaku di kalangan setengah-setengah kabilah Bani Tamim dan Asad yang bimbangkan kepapaan menimpa mereka kerana anak-anak itu. (Muhammad Tayyib dan Najjar di dalam kitab Al-Qabasu AL-Waddah’, muka surat 78 Zakaria Basyir dalam Meccan Crucible, muka surat 24). Sebagaimana adanya riwayat menyebutkan Qais bin Hasyim seorang pemimpin kabilah Bani Tamim yang kemudiannya memeluk Islam, telah mengaku menanam hidup-hidup 8 orang anak perempuannya di zaman Jahiliah.
Di sana terdapat juga riwayat menyebutkan seorang pemimpin dari kalangan Bani Tamim juga telah menyelamatkan ramai anak perempuan daripada dibunuh oleh ibu bapa mereka kerana takutkan kepapaan dengan membeli anak-anak perempuan. Di antara pemimpin yang menonjol dalam usaha membasmi adat keji ini ialah Sa’sa’ah bin Naajiah, datuk kepada Al-Farazdaq seorang penyair Arab yang terkenal dan Zaid bin Amar bin Nufail.
Sa’sa’ah telah membeli anak perempuan daripada kedua ibu bapanya kemudian memelihara mereka hingga dewasa. Bilangan anak-anak perempuan yang dipeliharanya ialah 360 orang ( At Thabarani dalam Al Mu’jamu’ Al Kabir, jilid 8 m.s. 77). Sementara Zaid bin Amar bin Nufail pula tidak terpengaruh dengan masyarakat sekeliling yang menyengutukan Allah s.w.t dengan sesuatu yang lain malah beliau mencari-cari kebenaran dan sedapat mungkin cuba mengesan serta mengamalkan saki baki peninggalan agama Nabi Ibrahim. Beliau juga membeli anak-anak perempuan daripada ibubapanya lalu memelihara mereka hingga dewasa. Kemudian dia akan membawa anak-anak perempuan itu kepada kedua ibubapanya lalu berkata kepada mereka , “ Jika kamu suka kepada anak perempuan kamu ini, kamu boleh mengambilnya atau kalau kamu tidak mahu kepada anak perempuan kamu ini biarlah anak-anak perempuan ini bersama saya.” ( Bukhari, jilid 1 , m.s. 540)
Zaid bin Amar bin Nufail bukan sahaja keluarga Sayyidina Umar r.a malah beliau adalah sepupu Sayyidina Umar r.a. Adik perempuan Sayyidina Umar r.a menjadi isteri kepada anaknya Sa’id dan anak perempuan Zaid pula menjadi isteri Sayyidina Umar r.a. sendiri.
Takkanlah keluarga yang terkenal dalam usaha-usaha suci menyelamatkan anak-anak perempuan daripada dibunuh oleh ibubapa mereka, tiba-tiba seorang yang sangat menonjol dan yang terpenting daripada mereka sendiri melakukan perbuatan terkutuk ini dengan membunuh anaknya sendiri.
3) Setelah Mekah dibuka, Rasulullah SAW. Berbai’ah dengan perempuan-perempuan mukmin. Diantara ucapan baginda SAW ialah:
“ Kamu tidak lagi akan membunuh anak-anak kamu.”
Hindun tiba-tiba berkata, “Kami memelihara mereka semasa kecil, apabila besar kamu pula yang membunuhnya.”
Peristiwa itu tercatat di dalam kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sirah dengan jelas dan terperinci. Kata-kata Hindun ini menunjukkan kabilah Quraisy tidak terlibat dengan adat yang keji ini. Sabda Rasullullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim juga membuktikan bahawa kabilah Quraisy tidak terlibat dalam pembunuhan anak-anak perempuan iaitu, Sabda Baginda s.a.w. yang bermaksud,
“ Sebaik-baik perempuan Arab ialah perempuan Quraisy. Mereka sangat penyayang terhadap anak-anak yatim sewaktu kecilnya dan mereka paling menjaga kedudukan dan harta benda suaminya”.
Apa ertinya pujian Nabi s.a.w terhadap sifat penyayang mereka terhadap anak-anaknya sekiranya mereka juga seperti kabilah-kabilah lain yang terlibat dengan adat membunuh anak-anaknya?
Anak-anak Sayyidina Umar r.a yang lahir sebelum Islam semuanya hidup. Mereka ialah Ummul Mukminin Hafsah, Abdullah bin Umar dan Abdul Rahman.
4) Dalam tradisi Arab, seorang yang dikurniakan dengan anak
sulungnya seperti Kuniah Nabi kita s.a.w ialah Abu Qasim, Kuniah Sayyidina Umar r.a ialah Abu Hafsin merujuk kepada Hafsah, anak perempuannya. Ini menunjukkan anak perempuan Sayyidina Umar r.a. yang sulung ialah Sayyidatina Hafsah.
5) Perlu juga diperhatikan bahawa disepanjang hayatnya, berapa ramaikah isteri Sayyidina Umar r.a dan juga hamba sahayanya di samping anak daripada mereka itu?
Kerana sejarah menyimpan semua maklumat isteri-isteri dan anak-anak Sayyidina Umar r.a Imam Ibn Jauzi dan lain-lain menyenaraikan isteri-isteri Sayyidina Umar r.a. dan anak-anaknya di samping hamba sahayanya. Beliau menulis, “Sayyidina Umar r.a mempunyai beberapa orang isteri dan mendapat ramai anak.” Isteri beliau ialah:
I) Zainab bt Maz’un
Zainab adalah saudara perempuan Uthman b. Maz’un yang terbilang di antara orang yang memeluk Islam di peringkat permulaan dan saudara sesusu dengan Nabi s.a.w. Dengan Zainab ini Sayyidina Umar r.a telah mendapat tiga orang anak iaitu Hafsah, Abdullah dan Abdul Rahman.
ii) Atikah bt Zaid b. Amar b. Nufail
Daripadanya beliau mendapat seorang anak lelaki bernama ‘Iyadh
iii) Isteri yang ketiga ialah Jamilah bt Tsabit b. Aflah
Daripadanya beliau mendapat seorang anak lelaki bernama ‘Aasim
iv) Ummul Hakkam bt Al-Harith b. Hisham
Daripadanya beliau mendapat anak perempuan bernama Fatimah.
v) Ummul Kulthum bt Jarwal b. Malik
Daripadanya beliau mendapat dua orang anak perempuan bernama Ubaidullah dan Zaid Al Akbar
vi) Ummul Kulthum bt Ali b. Abi Talib
Daripadanya beliau mendapat dua orang anak bernama Zaid Al Asghrar dan Ruqayyah.
vii) Daripada hamba sahayanya yang bernama Fukayyah dan
Luhayyah juga Sayyidina r.a telah mendapat anak. Daripada Fukayyah dia mendapat anak perempuan bernama Zainab dan daripada Luhayyah beliau mendapat anak bernama Abdul Rahman Al Autsar dan Abdul Rahman Al Asghrar.
Jadi, anak-anak Sayyidina Umar r.a adalah seperti berikut:
LELAKI
1) Abdullah
2) Abdul Rahman Al Akbar
3) Abdul Rahman Al Autsar
4) Abdul Rahman Al Asghrar
5) Zaid Al Akbar
6) Zaid Al Asghrar
7) Ubaidullah

9) ‘iyadh
PEREMPUAN:
1) Hafsah
2) Ruqayyah
3) Fatimah
4) Zainab
Daripada isteri pertamanya Zainab bt Maz’un, Sayyidina Umar r.a mendapat tiga orang anak iaitu Ummul Mukminin Hafsah, Abdullah b. Umar dan Abdul Rahman Al Akbar.Hafsah adalah anak sulungnya daripada Zainab bt Maz’un, sebab itulah beliau dikurniakan dengan Abu Hafsin.
Pada ketika beliau memeluk islam, beliau mempunyai hanya tiga orang anak ini sahaja. Kalau begitu anak yang manakah ditanam hidup-hidup oleh Sayyidina Umar r.a? Apakah namanya dan apakah nama ibunya? Kalaulah Sayyidina Umar r.a betul-betul bencikan atau tidak suka kepada anak perempuan, kenapa pula dia memakai kuniah Abu Hafsin?
Selain daripada alasan yang disebutkan tadi, adakah logic Sayyidina Umar r.a baru mengetahui identity anaknya samada lelaki atau perempuan setelah anak itu berumur 4 tahun?
Mungkin juga orang yang mula-mula menyebarkan kisah ini terkeliru dengan riwayat Wadhin yang dikemukakan oleh imam Daarini di dalam sunnahnya,atau mungkin ia pura-pura terkeliru.
Riwayat itu menyebutkan bahawa ada seorang lelaki mengadap Rasulullah Saw lalu berkata, “wahai Rasulullah! Kami dahulu orang-orang Jahiliah,kami menyembah berhala dan membunuh anak-anak. Saya pernah mempunyai seorang anak perempuan.Bila saya memanggilnya dia berlari-lari datang kepada saya dan sangat ceria. Pada suatu hari saya memanggilnya dan ia terus mengekori saya. Berdekatan dengan tempat itu ada satu telaga, saya memegang tangannya dan menolaknya masuk ke dalam telaga. Ucapan terakhir yang terkeluar dari mulutnya ialah “ ayah!”
Mendengar ceritanya itu Nabi saw menangis. Orang-orang yang ada berdekatan dengan Nabi saw berkata kepada orang itu, “ kamu betul-betul telah menyedihkan Rasulullah saw.” Nabi bersabda, “orang ini datang bertanyakan sesuatu yang lebih dari itu,” seraya baginda Rasulullah saw berkata kepada orang itu, “ceritakan sekali lagi kisah itu” orang itu pun mengulangi sekali lagi kisah itu sehingga Rasulullah saw menangis sehinnga basah janggutnya.
Kemudian Nabi saw bersabda, “perkara-perkara yang telah dilakukan oleh mereka di zaman jahiliah telah dihapuskan oleh Allah swt dengan masuknya mereka ke dalam Islam. Sekarang mulakan amalan-amalan yang lain” ( sunnah Daarini,jilid 1. ms 3)
Ini adalah satu kisah seorang yang tidak diketahui siapa orangnya,apa namanya? Mungkin orang-orang yang mempunyai maksud jahat mengaitkan cerita ini dengan Sayyidina Umar r.a. padahal cerita inipun jika ditimbang dengan neraca ilmu riwayat juga tidak disabitkan kerana Wadhin merupakan perawi teratas, lahir pada tahun 80H dan wafat pada 149 H,sedangkan dia tidak pula menceritakan perawi lain lain diatasnya. Tidak mungkin dia telah mendengar sendiri kisah ini 80 tahun sebelum kelahirannya!
Dalam istilah ilmu hadis, riwayat seperti ini dinamakan riwayat munqati’, kerana perawi diatasnya tidak disebutkan. Selain itu Wadhin itu sendiri adalah seorang yang dipertikaikan oleh ulamak Rijal Hadits tentangnya. Imam Bukhari,Muslim dan Nasa’I tidak mahu menerima riwayatnya. Ibnu Saad berkata, “ dia seorang yang daif.” Abu Hatim berkata, “ sesetengah riwayatnya baik tetapi setengah yang lain sangat buruk.” Jauzajani berkata, “riwayat-riwayatnya adalah lemah” ( Mizan Al I’tidal, jilid 4. ms 336). Hafidz Ibnu Hajar menulis bahawa, “ingatannya sangat teruk”.
Bila riwayat itu sendiri tidak tahan diuji, di samping orang yang berkenaan tidak disebutkan dengan jelas namanya kenapa pula ada orang yang pandai-pandai mengaitkannya dengan Sayyididina Umar r.a.? Tentu sekali perbuatan seperti ini tidak pernah dilakukan kecuali oleh musuh-musuh Islam.
Langgan:
Catatan (Atom)