Rabu, 20 Oktober 2010

MENGENAL POLITIK ISLAM

Memaknai Politik Syar’i
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Makna Politik

Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.
Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu terbagi menjadi dua macam:
1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.
2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)
Politik, bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata, akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental dengan sifat makar, dusta, dan licik. Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, lantas apakah keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik praktis yang ‘diimani’ partai politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk mengetahui jawabannya simaklah penjelasan berikut ini.

Fatamorgana Politik Praktis

Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam) dalam menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota lembaga legislatif (baca: politik untuk mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem tersebut tidaklah diciptakan dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk mem-fait accompli kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di negerinya sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai kesibukan politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang menganut sistem tersebut, melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya benar-benar terpantau dengan jelas oleh musuh-musuhnya.
Mungkinkah sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada kejayaannya? Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”
Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah didekati ternyata pemandangan semu belaka.
Tengoklah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna. “Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara, atau tembak mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair) yang berhasil menang pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian pun lenyap manakala militer melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam kondisi darurat’. FIS pun meradang, genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh. Pertempuran bersenjata pun terjadi, dan akhirnya pertumpahan darahlah kesudahannya.1 Lagi-lagi umat Islam sebagai tumbalnya. Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh ‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.2
Lebih dari itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa demikian? Karena asasnya adalah demokrasi yang ‘menuhankan’ suara rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye dengan segala pelanggaran syar’i dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath (campur-baur laki perempuan). Ciri khasnya adalah persaingan ketat, bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang (nampak) menggiurkan. Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’.3 Wallahul Musta’an.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk mengetahui lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan kepada kejayaan umat Islam, silakan buka kembali Majalah Asy Syariah edisi Polemik Menuju Negara Islam (No. 16/II/1426 H/2005). Adapun rincian bahasan seputar partai politik Islam, maka dapat anda ikuti pada Kajian Utama Majalah Asy Syariah edisi kali ini, insya Allah.

Apa Itu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)?

Setelah mengikuti bahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah adalah bagian dari syariat Islam. Sedangkan politik praktis, tak lain adalah ciptaan barat (baca: musuh-musuh Islam) yang tidak ada kaitannya dengan as-siyasah asy-syar’iyyah dan sudah barang tentu bukan dari Islam.
Bila demikian, apa definisi as-siyasah asy-syar’iyyah menurut terminologi syariat? Menurut terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah), dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -meskipun tidak secara nash- serta perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 126-127)
Dari sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang dengan dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah mursalah, yaitu suatu maslahat di mana tidak didapati dalil secara tegas baik yang memerintahkan maupun yang melarang. Tentunya, yang menentukan sebagai maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan sembarang orang. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim, dan yang lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 128-129)
Mengenai rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28), Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, dan selainnya.

Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)

Para pembaca yang semoga dirahmati Allahl, mengingat as-siyasah asy-syar’iyyah amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan, maka tentunya ada dua pihak yang saling terkait dengannya; pihak pengatur dalam hal ini adalah para penguasa (ulil amri) dan pihak yang diatur dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sahabat di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga masyarakat tabi’in serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan para penguasanya.
Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Menurut para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan para penguasa (ulil amri), agar mereka menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sedangkan ayat kedua turun berkaitan dengan rakyat baik dari kalangan militer maupun selainnya, agar mereka senantiasa taat kepada para penguasanya dalam hal pembagian jatah, keputusan, komando pertempuran, dan lain sebagainya. Kecuali jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh menaati makhluk (para penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah Subhanahu wa Ta’ala). Jika terjadi perbedaan pendapat antara para penguasa dengan rakyatnya dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika sang penguasa tidak mau menempuh jalan tersebut, maka perintahnya yang tergolong ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap wajib ditaati. Karena ketaatan kepada para penguasa dalam perkara ketaatan tersebut merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula hak mereka (para penguasa), tetap harus dipenuhi (oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa.

Sumber : www.Majalahsyariah.com atau www.asysyariah.com

Selasa, 19 Oktober 2010

Adakah Benar Kejadian Manusia Hilang Dikaitkan Dengan Kedengkian Jin Kepada Manusia

 Oleh:Ustaz Mohd Khairuddin Aman Razali At-Takiri




Manusia hilang dicolek oleh jin pernah berlaku di zaman umar bin al-khattab sepertimana diriwayatkan oleh oleh imam sayuti dalam kitab beliau laqt al-marjan sehingga timbul perbahasan hukum wanita yang hilang suaminya kerana dicolek Jin. Ceritanya, seorang wanita mengadu suaminya hilang. Umar mengarahkan wanita tersebut menunggu selama 4 tahun. Selepas penantian 4 tahun akhirnya wanita tersebut dibenarkan oleh Umar berkahwin lain. Tidak lama kemudian suami wanita yang hilang itu kembali lalu membawa kes tersebut ke pengaduan Umar. Lelaki tersebut menjelaskan bahawa beliau telah dicolek oleh Jin kafir sehingga akhirnya dibebaskan oleh Jin Islam yang membolehkan beliau kembali ke alam manusia. Umar menerima penjelasan lelaki tersebut dan mengiktiraf haknya sebagai suami kepada isterinya. Kerana itu baginda memberi pilihan kepada lelaki tersebut samada kekal sebagai suami wanita tersebut atau menceraikan wanita tersebut.
Persoalannya adakah ia berlaku kerana kedengkian Jin terhadap manusia? Bagi saya ia bukan persoalan dengki tapi persoalan sikap dan akhlak. Jin terbahagi dua. Ada islam dan ada yang kafir. Yang Islam pula ada yang solih dan ada yang fasiq. Hakikat ini dijelaskan dalam surah Jin. Yang kafir atau yang fasiq inilah yang bertindak jahat dan melakukan pencerobohan terhadap manusia samada bersebab atau tidak bersebab. Sekiranya ada Jin yang mencolek manusia ia merupakan satu pencerobohan yang mesti ditentang dan dihukum pelakunya.

Bagaimana mengubati seseorang yang dirasuk oleh Jin.

Cara merawat orang yang dirasuk oleh Jin telah ditunjukkan oleh Nabi saw dan para sahabat. Dalam hadis riwayat Ahmad, Darimi, Tabrani dan Baihaqi daripada Ibn Abbas, seorang perempuan membawa anak lelakinya yang dirasuki Jin kepada baginda saw baginda lalu menyapu dadanya dan mendoakannya. Budak itu lalu termuntah mengeluarkan seumpama binatang kecil berwarna hitam. Dalam hadis yang lain baginda saw memalu belakang seorang lagi anak lelaki dengan gumpalan pakaian sambil menyeru; keluar kamu wahai musuh Allah.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Seorang sahabat Nabi merawat lelaki kerasukan dengan dibacakan surah al-fatihah lalu sembuh sehingga diberikan hadiah 100 ekor kambing.Dalam riwayat lain menyebut beliau membacakan al-Fatihah selama 3 hari pagi dan petang. Apabila selesai membaca al-Fatihah beliau mengumpul air liur dan diludahkan kepada pesakit Dalam hadis Abu dawud juga terdapat kisah sahabat yang berjampi. Ertinya rawatan ialah dengan menggunakan doa dan ayat-ayat al-Qur'an. Adapun cara menggunakan ayat boleh jadi berbeza antara seorang dengan seorang perawat lain berdasarkan ilham daripada Allah dan pengalaman yang mujarrab selagi ia tidak bercanggah dengan syara'. Imam Ahmad bin Hambal pengasas mazhab Hambali yang terkenal mengutuskan terompah yang dipakainya untuk diketuk kepada sakit sebanyak 70 kali sebagai satu ancaman kepada Jin. Belum sempat diketuk jin tersebut telah keluar kerana taat kepada Imam Ahmad yang taat kepada Allah.

Tanda diganggu Jin
Ada pelbagai tanda antaranya apabila seseorang itu mula derhaka kepada Allah, hatinya sentiasa resah dan berserabut, atau merasakan sesuatu yang luar biasa berlaku kepada badannya yang tidak dapat disembuhkan oleh perubatan fizikal biasa.

Manusia boleh berkomunikasi dengan Jin?
Manusia boleh berkomunikasi dengan Jin tanpa perlu jin memperlihatkan dirinya. Antaranya dengan masuk ke dalam mimpi manusia, atau membisikkan sesuatu kepada manusia atau bercakap secara terus dengan suara seperti manusia. Ia berlaku kepada sahabat antaranya Abu Darda'. Apabila Jin merupa pada bentuk yang lain daripada bentuk asalnya manusia juga boleh melihat dan berkomunikasi dengannya. Antaranya kisah Abu Hurairah yang ditugaskan mengawal harta zakat lalu dicuri oleh Jin yang menjelma pada bentuk satu lembaga. Abu Hurairah menangkap lembaga tersebut tetapi dilepaskan setelah dirayu. Ia berlaku 3 malam berturut-turut. Perkara itu disampaikan oleh Abu Hurairah kepada Nabi saw.

Apa beza Jin, Syaitan, iblis dan bunian?

Jin adalah makhluk yang dicipta oleh Allah sebelum manusia. Ia berakal dan bernafsu seperti manusia. Kerana itu mereka juga ditaklifkan dengan hukum halal dan haram, iman dan kufur. Bapa bagi segala Jin adalah Jaan sebagaimana sabit dalam al-Qur'an sepertimana bapa bagi manusia adalah Adam. Iblis adalah salah seekor daripada Jin yang di bawa ke langit setelah Jin yang merosakkan muka bumi diperangi oleh para Malaikat. Iblis enggan sujud kepada Adam setelah diperintahkan oleh Allah, lalu Allah melaknatnya. Iblis kemudian meminta agar umurnya dipanjangkan sehingga hari kebangkitan, tetapi Allah hanya menerima untuk memanjangkan umurnya sehingga berlakunya Kiamat.

Syaitan pula adalah gelaran bagi jin dan manusia yang derhaka kepada Allah. Dalilnya dalam surah al-An`am ayat 112. Dalam musnad Ahmad Nabi saw berkata kepada Abu zar; berlindunglah kamu wahai Abu Zar daripada syaitan manusia dan syaitan Jin."
Penderhaka kalangan Jin yang paling besar ialah Iblis. Justeru itu Allah menggelarnya sebagai Syaitan. Antaranya dalam surah al-A`raf ayat 27 dan surah Fatir ayat 6.
Bunian pula hakikatnya adalah Jin. Ia adalah nama yang diberi oleh orang Melayu selalunya merujuk kepada Jin Islam.

Jin Bole masuk ke dalam badan manusia?
Allah taala mencipta Jin bersifat halus yang boleh memasuki jasad manusia. Dalam hadis nabi bersabda: syaitan bergerak menurut aliran darah manusia.". Jin boleh menguasai jasad manusia yang lemah imannya. Begitu juga orang yang leka tidak memohon perlindungan daripada Allah. Kerana itu nabi saw mengajar umatnya membaca surah al-Falaq dan surah an-nas sebagai cara memohon perlindungan kepada Allah daripada gangguan jin.

Saka?

Saka selalunya merujuk kepada jin yang diwarisi kepada anak cucu. Selalunya ia berlaku apabila seseorang mempunyai perjanjian dengan Jin seperti mengunakan khidmat jin menerusi perantaraan beberapa mentera. Apabila lelaki tersebut mati, Jin tersebut mengganggu anak-cucu lelaki tersebut untuk meneruskan perjanjian yang dilakukan oleh bapanya.

Cara melindung diri?
Dalam banyak ayat Allah mengajar manusia memohon perlindungan daripada allah bagi menghadapi gangguan jin dan syaitan. Antaranya dalam surah al-A`raf ayat 199. Nabi saw juga mengajar ayat-ayat al-Quran dan doa-doa pelindung daripada gangguan Jin. Antara membaca surah al-Falaq dan surah an-Nas. Dan banyak lagi doa-doa yang sabit daripada Nabi saw boleh dirujuk pada kitab-kitab hadis dan buku-buku doa..