Rabu, 23 Oktober 2013

Kisah Ka'ab bin Malik

Pada perang Tabuk, ada beberapa orang sahabat yang tidak berangkat berperang. Salah seorang di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya. “Aku sama sekali tidak pernah uzurkan diri mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah kerana kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan unta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya. Sungguh, tidak pernah Rasullah saw. merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahsiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam suasana panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan kuat. Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula. Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul fikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku boleh melakukannya kalau aku mahu!” Akhirnya, aku terbawa oleh fikiranku yang ragu-ragu, hingga pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah. Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul fikiranku untuk mengejar mereka, sebelum mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku. Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut, akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan keresahan diri sebab aku tidak melihat orang lain kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya (Munafiqin) dan orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau izin Allah Ta’ala untuk uzur. Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya. Setibanya di sana, ketika beiau Rasulullah saw sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?” Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”Rasulullah saw. hanya terdiam saja. Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam fikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw., bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berfikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw., segera tiba di Madinah, lenyaplah semua fikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw dan mengatakan dengan sebenarnya. Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. /Demikian pula usai dari Tabuk, selesai shalat beliau kemudian duduk melayani tetamunya. Lantas,datanglah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing disamping sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira 80 orang. Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka; dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah. Tibalah giliranku, aku datang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas dengan senyuman pula, namun jelas terlihat bahwa senyuman beliau adalah senyuman yang memendam rasa marah. Beliau kemudian berkata, “Kemarilah!” Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?” Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sedar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku bimbang Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian kerana itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil dibanding tatkala aku mengikutimu itu!” Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!” Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada, “Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau nampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!” Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya. Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?” Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!” Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?” Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.” Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka. Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara 80 orang yang tidak ikut dalam perang tersebut. Kami memencilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rakanku itu berkurung di rumah masing-masing menangisi nasib mereka, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan kaluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majlis Rasulullah saw sesudah beliau solat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, di hati kecilku tertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?” Aku juga solat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku bangkit mahu solat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu pagar Abu Qatadah, saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku. Aku menegurya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tahu bahawa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Dia diam. Aku mengulangi petanyaanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi pertanyaanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!” Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa. Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya menghantarkan barang dagangan ke kota Madinah. Ia bertanya, “Siapakah yang mahu menolongku menemui Ka’ab bin Malik?” Orang-orang di pasar itu menunjuk kepadaku, lalu orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Setelah ku buka, isinya seperti berikut, “… Selain dari itu, bahawa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kami akan menghiburmu!” Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tong dan membakarnya. Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampong halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan pesannya, “Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi isterimu!” Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan ku lakukan?” Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!” Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama. Aku langsung memerintahkan kepada isteriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!” Isteri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!” Isteri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!” Ada seorang ahli keluargaku yang juga mengusulkan, “Cuba minta izin kepada Rasulullah supaya isterimu melayani dirimu seperti halnya isteri Hilal bin Umayah!” Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang isteriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?” Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang solat subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50 ketika aku sedang duduk berzikir minta ampun dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku. ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah. Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya. Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai solat subuh bahwa Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlumba-lumbalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita gembira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu dua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu. Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah. Ternyata aku telah disambut banyak orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thahah. Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kamu atas hari ini! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu!” “Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar. “Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw. Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.” Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya. “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118) Sekarang kita hubungkan dengan kehidupan saat ini. Kalau Ka’ab bin Malik menguzurkan diri dari perang, kalau kita saat ini kita hubungkan dengan amanah-amanah kita. Bagaimana sikap kita ketika mendapat seruan untuk dakwah? Bagaimana sikap kita ketika mendapatkan amanah? Apakah kita bersegera untuk melaksanakannya? Apakah justru sebaliknya kita merasa enggan, malas dan akhirnya tidak berangkat seperti kisahnya Ka’ab bin Malik itu? Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang menguzurkan dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Tetapi beliau jujur kepada Rasulullah menyedari kesalahannya dan bertaubat. Beliau segera bangkit dari kealpaannya dan ikhlas menerima hukuman apapun. Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita akan menguzurkan diri kita dengan berbagai alasan ketika kita diberi amanah, padahal alasan sebenarnya karena kemalasan kita. Apakah kita akan menyalahgunakan kepandaian kita untuk membuat-buat alasan. Cuba kita semak surah At-Taubah:41-49 Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim. Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya. Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (QS.At-Taubah:41-49) Dan bagaimana pula sikap kita jika kita ditegur terhadap kekhilafan kita? Apakah kita akan ikhlas menerimanya dan berusaha memperbaikinya seperti halnya Ka’ab ataukah kita merasa kecewa dan akhirnya keluar dari jalan ini. Wallahu a’alam bishowab

Tiada ulasan:

Catat Ulasan